Dari sebuah rumah reyot berdinding bambu di Gunungpring, Muntilan, kisah Mbah Dul Salim membuat banyak orang terenyuh. Pria berusia 70-an tahun yang hidup sebatang kara ini memilih untuk tidak mengambil jatah beras bantuan pemerintah bulan ini.
Alasannya sederhana: persediaan bulan lalu masih ada setengah karung.
“Niku berase taseh katah, (Itu berasnya masih banyak),” ucap Mbah Dul lirih saat ditemui petugas Verifikasi Data Kemiskinan (VDK).
Keputusan itu bukan karena menolak bantuan. Mbah Dul takut berasnya mubazir bila ditimbun. Padahal kehidupannya jauh dari layak—rumah reot, dapur tanpa kompor, dan hanya pawon kayu bakar untuk memasak.
Qanaah di Tengah Serba Kekurangan
Menurut Azmi Fajrina, bidan desa sekaligus petugas VDK, sikap Mbah Dul adalah bentuk ketulusan.
“Beliau ini qanaah sekali. Hidup seadanya, menerima apa yang ada, tapi tidak berlebihan,” ujarnya.
Azmi menyebut, ada beberapa warga lain di Magelang yang hidup dengan prinsip serupa: mengambil secukupnya, tidak rakus, dan tidak menimbun bantuan.
Program Pemerintah dan Ketepatan Sasaran
Kisah ini terungkap berkat program Bupati Magelang Grengseng Pamuji yang menugaskan petugas VDK untuk memastikan bantuan tepat sasaran. Lansia seperti Mbah Dul seharusnya mendapat bantuan sembako, bukan modal usaha. Sementara warga usia produktif diarahkan ke pemberdayaan ekonomi agar bisa mandiri.
Kontras dengan Tunjangan DPR
Sikap Mbah Dul yang rela tidak mengambil bansos kontras dengan pernyataan Wakil Ketua DPR Adies Kadir yang sempat menyebut tunjangan beras untuk anggota DPR mencapai Rp12 juta per bulan.
Pernyataan itu memicu gaduh hingga akhirnya diklarifikasi ulang, bahwa tunjangan beras DPR hanya Rp200 ribu per bulan. Namun publik sudah terlanjur menyoroti fasilitas mewah yang diterima wakil rakyat.
Di satu sisi, rakyat kecil seperti Mbah Dul menahan diri agar tidak mubazir dengan setengah karung beras. Di sisi lain, pejabat negara justru menuai kritik karena tunjangan yang dianggap berlebihan.
Teladan dari Magelang
Mbah Dul mungkin tidak paham hiruk pikuk politik. Namun sikapnya lebih lantang daripada orasi di gedung parlemen: hidup secukupnya, tidak serakah, dan selalu bersyukur.
Kisahnya menjadi tamparan moral di tengah ketimpangan: bahwa arti “cukup” bukan soal banyaknya harta, melainkan keberanian untuk menahan diri dari mengambil lebih.
Baca Juga
-
Rekap BWF World Championships 2025 Babak Awal: 8 Wakil Indonesia Lolos
-
Minyak Kemiri Bikin Rambut Lebat dan Kuat, Ini Cara Bikinnya di Rumah!
-
5 Anime Serupa Terbaik yang Dapat Ditonton Usai Tamatkan Nana
-
7 Lagu 7 Warna, NCT Wish Tawarkan Beragam Mood dan Genre di Album 'Color'
-
Bebas Kusam dan Minyak Berlebih dengan 4 Toner Jeruk yang Kaya Vitamin C
Artikel Terkait
-
Mbak Nafa Jangan Mengeluh, Rakyat di Dapilmu Sampai Nolak Bantuan Karena Merasa Cukup Meski Tak Kaya
-
Mbah Dul Salim Tolak Bantuan Beras Karena Takut Mubazir, Ironi saat DPR Dapat Tunjangan Rp12 Juta
-
HP Harga Rp 12 Juta Dapat Apa? Setara Tunjangan Beras DPR Per Bulan
-
Luhut: Digitalisasi Bansos Hemat Rp500 T, Mensos Akui 45 Persen Salah Sasaran
-
Sindir Kebijakan Bansos, Anies: Itu Cuma Bikin Orang Miskin Senang Demi Elektoral
News
-
Minyak Kemiri Bikin Rambut Lebat dan Kuat, Ini Cara Bikinnya di Rumah!
-
Judika Dikritik Usai Ngeluh Kena Imbas Gas Air Mata saat Asyik Main Bola: Harusnya Ikut Demo!
-
Diduga Intel Menyamar, Video Driver Ojol di Tengah Demo DPR Jadi Sorotan
-
Adu Latar Pendidikan Azizah Salsha vs Marshella Aprilia, Siapa Paling Mentereng?
-
Ulasan Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Potret Lelah Perempuan yang Nyata
Terkini
-
Rekap BWF World Championships 2025 Babak Awal: 8 Wakil Indonesia Lolos
-
5 Anime Serupa Terbaik yang Dapat Ditonton Usai Tamatkan Nana
-
7 Lagu 7 Warna, NCT Wish Tawarkan Beragam Mood dan Genre di Album 'Color'
-
Bebas Kusam dan Minyak Berlebih dengan 4 Toner Jeruk yang Kaya Vitamin C
-
Review Film My Beloved Stranger: Kisah Penyesalan yang Mendalam