Di era serba cepat seperti sekarang, ketenangan menjadi sesuatu yang semakin langka. Kita hidup dalam ritme yang tidak pernah berhenti: bangun pagi, langsung mengecek notifikasi, berlari mengejar pekerjaan, dan menutup hari dengan layar ponsel yang masih menyala. Tubuh kita mungkin mampu mengikuti kesibukan itu, tetapi pikiran sering kali kewalahan.
Sistem saraf manusia pada dasarnya dirancang untuk hidup yang lebih pelan, bukan kehidupan modern yang dipenuhi alarm, deadline, dan tuntutan multitasking tanpa henti. Akibatnya, muncul rasa lelah yang tidak selalu terlihat, tetapi sangat menguras energi.
Banyak orang akhirnya merindukan ruang sunyi, rutinitas lembut, dan jeda dari kebisingan informasi. Bahkan, hal sederhana seperti duduk tanpa memikirkan apa pun terasa seperti hadiah besar.
Semakin cepat dunia bergerak, semakin keras pula tubuh kita meminta untuk berhenti sejenak. Inilah awal dari fenomena “haus ketenteraman” yang dirasakan banyak orang saat ini.
Tekanan Mental, Media Sosial, dan Kebutuhan akan Ketenangan
Di balik kebutuhan akan ketenangan, ada faktor lain yang memperkuat dorongan tersebut, seperti media sosial dan ekspektasi sosial. Generasi sekarang dikenal sebagai generasi yang dibanjiri informasi, tuntutan produktivitas, dan standar kehidupan yang sulit dicapai.
Tiap hari kita melihat orang lain tampak sukses, bahagia, atau hidupnya tertata rapi, meski semua itu sebenarnya hanya potongan cerita. Hal ini memicu tekanan mental yang besar, mulai dari overthinking, kecemasan sosial, hingga rasa tidak cukup baik.
Ketika semua orang terlihat produktif, kita pun merasa harus ikut berlari, meski sebenarnya lelah. Media sosial memperparah kondisi ini dengan menampilkan kehidupan “ideal” yang hanya menghasilkan perbandingan tanpa henti.
Tidak heran jika banyak orang mencari ketenangan dalam bentuk kegiatan yang lembut, seperti minum kopi tanpa gangguan, journaling, berjalan sore, atau sekadar mengambil jeda dari dunia digital. Ketenangan menjadi cara untuk memulihkan diri dari kebisingan sosial yang tidak terlihat.
Bahkan, gerakan seperti ‘slow living’ dan ‘soft life’ muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya serba cepat. Mereka yang memilih hidup lebih pelan bukan berarti malas, tetapi sedang membela kesehatan mental mereka sendiri. Mereka memilih untuk tidak tenggelam dalam tekanan yang dibuat oleh dunia digital. Dalam hal ini, ketenangan menjadi mekanisme bertahan hidup yang penting.
Ketenangan sebagai Gaya Hidup dan Bentuk Pertahanan Diri
Ketika tekanan hidup semakin tinggi, ketenangan akhirnya berubah menjadi gaya hidup baru. Banyak orang mulai menyadari bahwa ketenangan adalah kebutuhan dasar, bukan kemewahan.
Mereka mencari cara-cara sederhana untuk menciptakan ruang aman bagi diri sendiri: mendengarkan musik lembut, mengurangi warna-warna keras dalam ruangan, memilih aktivitas yang tidak memicu stres, atau bahkan menghindari drama yang tidak perlu. Ketenangan menjadi bentuk self-defense, sebuah perlindungan lembut yang membuat kita tetap waras di tengah kesibukan.
Tidak heran tren seperti warna pastel, desain minimalis, meditasi singkat, dan ruangan aesthetic menjadi populer. Semuanya bukan hanya soal gaya, tetapi juga kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan emosional. Orang ingin merasa aman, tenang, and tidak harus selalu tampil sempurna.
Ketenangan juga membuat kita lebih dekat dengan diri sendiri. Saat hidup melambat, kita mulai sadar apa yang sebenarnya penting, mana yang hanya menjadi beban, dan mana yang patut dipertahankan.
Ketenangan memberi ruang bagi refleksi, untuk merasa dan bernapas tanpa terburu-buru. Pada akhirnya, haus akan ketenteraman adalah respons manusiawi ketika dunia menjadi terlalu keras. Kita mencari ritme (pace) yang lebih lembut, rutinitas yang lebih manusiawi, dan kehidupan yang tidak selalu memaksa kita berlari.
Ketenangan adalah revolusi kecil yang dilakukan banyak orang demi kesehatan mental dan kualitas hidup yang lebih baik.
Baca Juga
-
Akar Melawan Ombak: Perjuangan Komunitas Mangrove Menyelamatkan Pesisir
-
Singkirkan Rasa Takut Belajar Anti-Bullying dari Film 'The Karate Kid'
-
Akar Masalah Bullying: Sering Diabaikan, Lingkungan, dan Psikologi Keluarga
-
Bongkar Luka Bullying: Belajar dari Drama 'The Glory' dan Realitas Saat Ini
-
Anak Meniru yang Dilihat: Bagaimana Keluarga Menghasilkan Pelaku Bullying?
Artikel Terkait
-
Cantik Luar Dalam: Bagaimana Perawatan Holistik Kecantikan dan Mental Jadi Solusi Baru?
-
Rahasia Sekolah Juara: Materi Eksklusif Kesehatan Fisik dan Mental Gratis untuk Guru SD - SMP
-
Bukan Lagi Salah Korban: Saatnya Menuntaskan Akar Bullying
-
Generasi 'Lemah' atau Generasi Sadar Batas? Wajah Baru Dunia Kerja
-
9 Manfaat Jalan-Jalan di Alam Terbuka untuk Kesehatan Mental dan Kualitas Tidur
News
-
Menjaga Jejak di Bawah Pasir: Menghidupkan Ulang Narasi Sejarah Pulau Lae-Lae pada Generasi Alpha
-
Deddy Corbuzier Akui Ingin Kembali ke Layar Kaca Asal Bareng Raditya Dika
-
Terakhir di Layar Lebar, Sore: Istri dari Masa Depan Pamit di JAFF 2025
-
Menambang Kenangan! Reuni 90 Tambang UPN Bernuansa Nostalgia
-
Film Dokumenter Gestures of Care Tayang di JAFF 2025, Meningkatkan Kesadaran tentang Kebakaran Hutan
Terkini
-
Bakat vs Tekad, Film Anime 100 Meters akan Tayang Desember Ini di Netflix
-
Simak Alasannya! I.M Dipastikan Tak Akan Ikut Tur Dunia MONSTA X 2026
-
Rilis First Look! Intip Pemeran Film Ghost in the Cell Karya Joko Anwar
-
Honor X80 Lolos Sertifikasi, Usung Chipset Baru dan Baterai Jumbo 10.000mAh
-
6 Rekomendasi Basic Skincare Kemasan Jumbo, Lebih Awet dan Anti Boncos