Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | M. Fuad S. T.
Kenang-kenangan keberagaman (Doc.pribadi/armada)

Sebelum mengenang sekaligus menuangkan cerita keberagaman kali ini, terlebih dulu aku akan sedikit memperkenalkan background tempat tinggalku. Sebab, hal ini akan menjadi salah satu poin penting pembentuk pola pikirku terhadap keberadaan umat beragama lain. Sedari kecil, aku tinggal di sebuah daerah kecamatan yang terletak di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ya, daerah ini terkenal dengan nuansa Islami yang sangat kuat. Bagaimana tidak, selain dikenal sebagai salah satu rujukan pemuda-pemudi untuk nyantri atau belajar di sekolah-sekolah islami, daerah tempat tinggalku juga diapit oleh ulama-ulama kelas wahid di negeri ini. Pasti teman-teman sudah tak asing lagi dengan nama-nama besar seperti K.H. Cholil Bisri, K. H. Musthofa Bisri, K. H. Maimun Zubair atau Gus Baha yang namanya masyhur itu. Tak pelak, bukan sebuah hal yang mengherankan jika sedari kecil, aku sudah lekat dengan tradisi-tradisi islami, termasuk ngaji kitab kuning, selain membaca Al-Qur’an rutinan setelah maghrib.

Meskipun dikelilingi oleh ulama-ulama terkemuka, aku lebih banyak mengaji di ustadz-ustadz sekitar rumah yang kebanyakan merupakan lulusan dari pondok pesantren Al Anwar Sarang atau LP3IA, yang kala itu dikelola oleh Mbah Yai Nur Salim (ayahanda dari Gus Baha). Secara ilmu tauhid dan islami tentu saja ilmu yang mereka ajarkan sudah tak diragukan lagi, karena standar kedua pondok pesantren tersebut memang tinggi dalam meluluskan santrinya. Namun sayangnya, ada satu hal yang membuat aku agak merasa penasaran. Ustadz-ustadz ku sering melewatkan pembahasan tentang ajaran tauhid, jika pembahasannya berkenaan dengan keyakinan umat agama lain. Sehingga, mau tak mau pengetahuanku mengenai umat agama lain, hanya aku dapatkan dari guru-guruku di sekolah umum tanpa mengetahui praktik nyata tentang mereka yang menganut keyakinan lain.

Bahkan aku masih ingat, ada salah seorang ustadzku yang menyatakan bahwa, sebisa mungkin jangan berteman dengan orang yang berbeda agama, karena mereka akan berupaya untuk membawa kita kepada agamanya. Sebuah pendapat yang di kemudian hari aku buktikan tak sepenuhnya benar dan terlalu tendensius. Sebab, tak semua orang dari umat agama lain akan bersikap seperti itu. Saat itu, tentu saja sebagai santri yang patuh, aku percaya dengan pendapat tersebut. Namun, pada akhirnya, takdir membawaku untuk berpikiran lebih terbuka, melalui pengalaman yang diberikan oleh Allah SWT Secara langsung

Sekadar informasi, mulai dari Sekolah Dasar hingga SMA, aku bersekolah di sekolah negeri yang 100 persen siswanya merupakan muslim. Jadi, selama rentang waktu tersebut, aku tak pernah sekalipun bersinggungan dengan teman yang berbeda agama. Hingga suatu ketika pada bulan Mei 2004, ketika aku berada di kelas 1 SMA, aku mendapatkan sebuah tugas dari sekolah untuk mengikuti Latihan Diklat dan Kepemimpinan OSIS se-Jawa Tengah, bertempat di Yayasan Bina Dharma Sidorejo Salatiga. Dalam surat tugas yang diserahkan oleh bapak kepala sekolah, tertulis bahwa waktu penyelenggaraan kurang lebih sepekan, dari tanggal 3-10 Mei 2004, dan untuk Kabupaten Rembang, diwakili oleh 7 sekolah, termasuk sekolahku. Sementara mekanisme pemberangkatan, kami akan difasilitasi atau diantar-jemput oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Rembang.

Singkat cerita, kami pun berkumpul di Dinas Pendidikan, dan berangkat menuju ke Yayasan Bina Darma untuk menuntut ilmu. Selama perjalanan, kebanyakan dari kami diam, karena masih belum akrab satu sama lain. Memang, kami berkenalan. Namun, hanya sebatas berkenalan saja, tak lebih. Maklum lah ya, anak-anak muda yang masih pada bau kencur sudah harus dikirim ke luar kota dan selama sepekan akan digodok, dilatih dan dididik oleh orang-orang yang sama sekali belum mereka kenal. Tentu saja akan memiliki perasaan yang tak begitu nyaman.

Singkat cerita, kami pun sampai di tempat penggodokan. Setelah proses registrasi, dengan dalih agar saling mengenal rekan-rekan lainnya, kami yang dari Rembang dibagi secara acak untuk kemudian ditempatkan dalam wisma-wisma yang telah ditentukan. Dan aku masih ingat, ada 6 anak yang satu wisma bersamaku, mereka berasal dari Jepara, Semarang, Banyumas, Purwodadi, dan dua orang dari Rembang, yakni aku dan Tomy El Fian. Iya, dalam wisma tersebut, aku ditempatkan dengan Tomy El Fian yang juga dari Rembang. Namun seperti yang telah dituliskan, aku belum mengetahui apa pun mengenai anak yang satu ini, kecuali namanya ketika saling berkenalan sejenak tadi di perjalanan.

Selesai beberes, kami berusaha untuk bercengkrama untuk saling mengakrabkan diri. Tentu akan menjadi sebuah hal yang aneh kan ya, jika selama sepekan bersama tapi kita tak akrab. Di momen inilah aku tahu bahwa seorang Tomy El Fian memiliki agama yang berbeda dengan kami. Iya, kami berlima beragama Islam, sementara si Tomy beragama Katholik dan berasal dari SMAK Santa Maria, yang juga baru aku tahu saat momen berakrab-akrab tersebut.

Mungkin bagi yang lain, bertemu dengan orang yang berbeda agama merupakan sebuah hal yang biasa. Namun tidak demikian halnya denganku saat itu. Bertemu dengan Tomy yang non muslim, merupakan pengalaman pertama bagiku yang kala itu menjalani hidup di lingkungan yang satu agama. Tentu semula aku merasa agak canggung dengan Tomy karena penjelasan-penjelasan yang kurang tepat mengenai mereka yang non muslim. Namun, selama sepekan bersama Tomy, aku tak menemukan sesuatu yang pantas untuk dijadikan alasan menjauhinya, karena apa yang ditunjukkan oleh Tomy, sama sekali berbeda dengan pemikiran awal yang aku miliki terkait dengan orang yang memiliki agama berbeda.

Selepas kegiatan, sebelum tidur, kami berdua memiliki rutinitas yang berbeda. Aku biasanya membaca ayat-ayat suci, sementara Tomy membaca doa Rosario. Dan tahu tidak, apa yang kami lakukan? Kami saling mempersilakan untuk melakukan kegiatan rutin tersebut, tanpa ada yang saling merendahkan.

Jadi, ketika aku mengaji, maka di kamar lain, Tomy akan menunda dulu pembacaan doanya, pun demikian ketika Tomy membaca doa Rosario, maka aku akan menunggunya hingga selesai terlebih dahulu. Bisa dibayangkan, bagaimana damainya wisma tempat kami tinggal dengan lantunan ayat-ayat suci secara bergantian dari kami. Tentu akan berbeda sense-nya jika kami melaksanakan rutinitas tersebut dalam waktu yang bersamaan bukan? Pasti nanti akan terjadi semacam “persaingan” untuk menunjukkan superioritas ajaran agamanya.

Dan uniknya lagi adalah, ketika waktu subuh tiba, Tomy dengan rela hati membangunkan kami untuk melakukan ibadah sholat. Sebuah hal yang membuatku secara pribadi merasa semakin dekat dengan sosok yang semula asing, baik secara fisik maupun keyakinan. Selama satu pekan bersama di pelatihan tersebut, seorang Tomy telah merubah sudut pandangku mengenai perbedaan beragama yang ada di Indonesia. Bahkan, jika dibandingkan dengan peserta lain yang sama-sama berasal dari kabupaten Rembang, Tomy adalah yang paling dekat denganku, sehingga tak heran jika sebuah pelukan hangat dia berikan ketika akan berpisah.

Nah, itulah pengalaman pertamaku berjumpa dengan teman yang memiliki keyakinan berbeda. Dan Salatiga, dengan Yayasan Bina Dharma-nya, menjadi salah satu tempat yang menempati memori indah dalam benakku, dan tak akan terlupakan hingga saat ini. Karena bagaimanapun, di tempat inilah aku pertama kali menjalankan toleransi yang berkaitan dengan agama secara nyata.

M. Fuad S. T.