Listrik memang menjadi salah satu kebutuhan primer yang wajib dipenuhi di masa modern seperti sekarang. Kebutuhan akan listrik tentunya menjadi kian penting ketika kemajuan teknologi di berbagai bidang dalam kehidupan manusia terus berkembang dan memanfaatkan energi listrik sebagai penunjangnya. Tidak heran pula banyak pembangkit tenaga listrik yang dikembangkan dan dibangun di seluruh dunia sejak abad ke-20 hingga memasuki dekade awal abad ke-21.
Pembangkit listrik tentunya memiliki cukup banyak jenisnya, mulai dari yang bisa diperbarui seperti pembangkit listrik tenaga matahari (Surya), tenaga angin maupun tenaga air, hingga pembangkit listrik yang tidak bisa diperbarui seperti tenaga diesel yang menggunakan bahan bakar minyak bumi dan tenaga uap hasil pembakaran batu bara.
Pembangkit listrik tenaga batu bara memang menjadi salah satu pembangkit listrik yang paling mampu menghasilkan daya yang cukup besar. Bahkan, dianggap sebagai salah satu jenis pembangkit listrik yang cukup murah dioperasikan, khususnya di negara-negara yang memiliki cadangan tambang batu bara yang cukup besar seperti di Indonesia.
Merujuk laman Global Energy Monitor, setidaknya ada sekitar 6.500 pembangkit listrik tenaga uap batu bara yang beroperasi di dunia atau sekitar 2.095 GW (gigawatt) tenaga yang mampu dihasilkan. Uniknya, Indonesia sendiri memiliki salah satu negara penghasil listrik tenaga batu bara terbesar di dunia dengan menduduki peringkat ke-5 dengan daya sebesar 45,35 GW di tahun 2022/2023 lalu. Jumlah tersebut kemungkinan bisa bertambah di tahun 2024 ini dan di tahun-tahun yang akan datang.
Sisi Buruk Penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batu Bara
Tenaga uap yang dihasilkan dari pembakaran batu bara memang terbilang cukup efektif untuk dimanfaatkan sebagai sumber daya pembangkit listrik dibandingkan uap yang dihasilkan dari panas bumi.
Namun, pembakaran batu bara secara masif dan dengan tempo panjang tersebut dapat memicu banyak efek negatif. Mulai dari rusaknya ekosistem hayati di sekitar tambang, hingga pelepasan gas rumah kaca ke lapisan atmosfir bumi yang bisa berlebih dan menyebabkan pemanasan global.
Melansir dari laman Green Peace (greenpeace.org), beberapa efek buruk tersebut yang kini coba diangkat oleh beberapa pihak untuk mulai mengkampanyekan penghentian pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap batu bara secara bertahap.
Melansir dari laporan yang terbit dalam “Boom and Bust Coal 2023”, pembakaran batu bara berperan cukup besar dalam pelepasan emisi CO2 ke atmosfir yang memicu pemanasan global di dunia.
Oleh karena itu, banyak negara yang kini tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) harus mulai mengurangi pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap batu bara tersebut secara bertahap demi menjaga iklim dunia yang kian tahun kian meningkat tersebut.
Pembangkit tenaga uap batu bara memang disarankan mulai untuk digantikan dengan pembangkit listrik tenaga terbarukan sejak awal dekade 2000-an silam. Beberapa tenaga alternatif seperti tenaga surya, tenaga air, tenaga angin dan juga pembangkit listrik tenaga nuklir menjadi beberapa saran alternatif yang bisa dipilih oleh beberapa negara yang selama ini masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap batu bara untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam negerinya.
Namun, penggantian pembangkit listrik tenaga batu bara ke tenaga alterntif tersebut tentunya tidaklah mudah. Banyak sarana dan prasarana yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan konversi tersebut. Belum lagi biaya yang tentunya cukup tinggi guna memfasilitasi proyek yang terbilang besar tersebut seringkali menjadi kendala untuk peralihan energi.
Salah satu contohnya adalah di Indonesia. Melansir dari data yang diterbitkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mayoritas daya listrik yang dihasilkan pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batu bara, yakni sekitarr 67, 21% di tahun 2022 silam. Sisanya terbagi atas beberapa sumber daya lain seperti tenaga surya, uap bumi, angin, hingga tenaga ombak laut.
Akan tetapi, apabila proyek konversi tenaga batu bara tersebut bisa berjalan dengan baik dan sukses, bukan tidak mungkin keberlangsungan ekosistem hayati di alam akan kian baik dalam beberapa tahun atau dekade mendatang.
Baca Juga
-
Shin Tae-yong Panggil Trio Belanda ke AFF Cup 2024, Akankah Klub Pemain Berikan Izin?
-
Bambang Pamungkas Sebut Mimpi Indonesia ke Piala Dunia Masih Ada, Kenapa?
-
AFF Cup 2024 Resmi Gunakan Teknologi VAR, Kabar Buruk Bagi Timnas Vietnam?
-
Belum Dilirik STY untuk AFF Cup 2024, Apakah Jens Raven Tak Masuk Kriteria?
-
Sudah Dapatkan Ole Romeny, PSSI Rupanya Masih Berburu Striker Keturunan
Artikel Terkait
-
Peduli Lingkungan, 75 Persen Perusahaan Besar Dunia Mulai Terapkan Laporan Keberlanjutan
-
Jurnalisme Hijau di Era Digital: Membumikan Isu Lingkungan Nan Kompleks Agar Tak Membosankan
-
Intip Kelebihan Thorium, Sumber Energi 'Murah' Bidikan MIND ID
-
Etika Menjaga Kelestarian Destinasi Alam
-
Menikmati Liburan Tenang dan Berkelanjutan: Ini 4 Rekomendasi Akomodasi Ramah Lingkungan di Lombok
Rona
-
Tantangan Pandam Adiwastra Janaloka dalam Memasarkan Batik Nitik Yogyakarta
-
Mengenal Pegon, Kendaraan Tradisional Mirip Pedati yang Ada di Ambulu Jember
-
Fesyen Adaptif: Inovasi Inklusif di Dunia Mode untuk Penyandang Disabilitas
-
KILAS dan Edukasi G-3R di Cimenyan: Membangun Kesadaran Pengelolaan Sampah
-
Vera Utami: Pionir Inklusivitas Pakaian Adaptif bagi Penyandang Disabilitas
Terkini
-
Byeon Woo Seok Nyanyikan Sudden Shower di MAMA 2024, Ryu Sun Jae Jadi Nyata
-
Pep Guardiola Bertahan di Etihad, Pelatih Anyar Man United Merasa Terancam?
-
3 Drama Korea yang Dibintangi Lim Ji Yeon di Netflix, Terbaru Ada The Tale of Lady Ok
-
Review Ticket to Paradise: Film Hollywood yang Syuting di Bali
-
Ulasan Novel Under the Influence Karya Kimberly Brown, Kisah Cinta dan Kesempatan Kedua