Hai namaku Tono, aku adalah bagian dari pekerja yang merasakan dampak pandemi di negara ini yang mengakibatkan aku harus di rumahkan jika aku mengambil dari kalimat manajerku dulu, tapi menurutku kalimatnya itu hanya kata halus dari PHK. Hampir 1 tahun aku mencoba bertahan di ibukota dan berharap mendapatkan pekerjaan lain namun memang rejeki tidak pernah tertukar dan sepertinya rejekiku di kota ini memang sudah tidak ada.
Sejak sebulan yang lalu aku memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuaku di Jawa Tengah karena aku pikir hidup harus memulai dari titik awal aku hidup. Masa kecilku memang hidup di desa ini, sebuah desa kecil di antara deretan pegunungan yang ketika masa panen akan dipenuhi aroma daun tembakau yang dikeringkan untuk dipasok ke pabrik rokok di kota sebelah.
Memulai kehidupan yang berhenti di tengah jalan memang tidak mudah namun ijazah SMK akhirnya aku bisa menyambung kembali rejekiku yang sempat terenggut oleh pandemi. Sekarang aku bekerja di sebuah mini market di dekat kecamatan yang tentu aktifitas ekonominya lebih ramai dari tempat tinggalku.
Sebulan di rumah ternyata membuat kebiasaan lamaku terajut kembali setelah hampir 5 tahun tidak pernah bisa aku lakukan ketika bekerja di ibukota. “Tono ayo ndang tangi le”, teriak simbok dari arah dapur. “Yo, mbok!”, timpalku agak lantang supaya simbok dengar suaraku. Suara simbok pada pagi hari seperti sebuah alarm yang ketika dia berbunyi maka aku harus bergegas mandi dan bersiap diri karena jika aku abai maka teriakan tersebut makin kencang dan panjang.
Usai sarapan hal yang selanjutnya aku lakukan adalah menghidupkan Honda kesayanganku dengan tujuan untuk memanaskan mesin agar ketika nanti dipakai Honda langsung siap. “Wah suasananya enak sekali ini, kabut masih tipis-tipis terlihat dan matahari sudah tinggi se pohon kelapa”, ucapku dalam hati.
“Selamat Pagi mas tono, sudah mau berangkat kerja mas?” sapa seseorang yang berdiri tepat di depan halaman rumahku. “Pagi juga dik Lani, belum ini dek masih manasin motor. Dik lani udah mau berangkat kerja juga? Lah kok jalan kaki aja dik? Gak diantar Paklik Mardi?", Jawabku cepat. “Ora mas tono, bapak lagi ada urusan, iya ini jalan kaki sampai depan gapura nanti dilanjut naik angkutan desa. Ya sudah mas Tono saya lanjut jalan dulu ya”, ujarnya menjawab pertanyaanku. “Monggo dik, hati-hati di jalan”, jawabku lagi. Setelah percakapan itu bayang tubuh Lani menjauh ke arah gapura desa meninggalkan aku dengan pikiran di kepalaku.
Lani adalah tetangga sekaligus teman lawan jenis yang cukup dekat denganku. Aku memang lebih tua dari Lani namun untuk urusan cinta Lani jauh melompatiku. Lani sudah menikah tiga tahun lalu namun sekarang dia sudah menjalani kehidupan seorang janda dikarenakan suaminya ternyata ketika menikahi dia telah beristri tanpa sepengetahuan Lani dan setelah dia mengetahui fakta tersebut Lani memutuskan untuk pisah dan hidup sendiri sejak 2 tahun belakangan.
Dulu waktu masih SMA pernah Lani bicara padaku bahwa dia memang perempuan desa dan tidak berpendidikan tinggi namun untuk urusan pernikahan dia tidak mau dimadu atau malah menjadi madunya. Entah apa yang menjadi dasar pemikirannya tersebut dan aku juga tidak merasa tertarik untuk tanya lebih lanjut.
Seperti yang aku ucap tadi jika Lani sudah berpengalaman urusan perkawinan maka aku seperti anak bau kencur untuk urusan seperti itu karena aku sendiri belum pernah pacaran jadi belum pernah kepikiran untuk urusan perkawinan.
Berbicara perkawinan tentu sama halnya rejeki bahwa semua sudah gusti yang atur maka aku ngalir saja untuk urusan ini dan siapa yang tahu mungkin saja jodohku juga di desa ini seperti rejekiku yang ternyata ada disini.
Hondaku sepertinya sudah siap untuk dikendarai dan secara pasti menemaniku ke tempat kerjaku. Ada hal yang selalu kurindukan suasana di desa ini ketika aku dulu masih bekerja di Kota yaitu budaya menyapa pagi. Menyapa pagi yang aku maksud adalah kebiasaan yang ada di desaku ketika warga desa mengawali hari dengan aktiftas masing-masing dan kebetulan bertemu di jalan maka secara naluriah akan menyapa satu sama lain.
Aku saja selama perjalanan dari rumah ke gerbang gapura sudah saling sapa dengan 4 orang yang pertama, Pak Bali yang tadi bertemu di pertigaan masjid saat dia akan berangkat ke lading. Orang kedua yang aku temui di jalan dekat rumah Pak Dukuh ialah Mas Rohim yang akan berangkat mengajar di Sekolah Dasar desaku.
Orang ketiga dan keempat adalah Rani dan Rini si kembar yang akan berangkat sekolah, aku bertemu mereka tepat di gapura desa. Mereka sedang menunggu angkutan desa untuk mengantar mereka ke sekolah mereka dekat tempatku berkerja.
Kegiatan menyapa pagi ini jika aku pikir dari sudut pandang orang kota di tempat aku bekerja dulu merupakan suatu kegiatan yang penuh basa-basi. Selama aku indekost selama 3 tahun sepertinya hanya beberapa kali kami sesama penghuni kost saling sapa.
Pagi hari di kota selalu penuh kesibukan dan kemacetan yang pukul keberangkatan bekerja menentukan prediksi berapa lama perjalana ke tempat kerja dan mood kerja selama sehari penuh. Alih-alih harus menyapa sepertinya bangun lebih pagi dan segera bergegas bekerja adalah perilaku yang lebih wajib daripada kita harus saling menyapa tetangga.
Sering aku berfikir kenapa ketika di jalan aku harus betul hati-hati karena jika aku di jalan sedang mendapatkan sial yang harus berkonflik dengan orang maka konflik itu bisa merusak moodku selama sehari penuh. Namun hal yang berbeda ketika di desa, menyapa pagi adalah sebuah kebiasaan orang desa untuk tetap merajut suasana guyub dan kekeluargaannya.
Budaya menyapa adalah salah satu kunci melestarikan kegiatan gotong royong di desa karena dengan warga desa masih saling menyapa maka ketika salah satu warga sedang membutuhkan tetangganya seperti ketika ada kematian, hajatan atau membangun rumah maka tetangga sekitar tidak canggung untuk menolong dan bergotong royong.
Selagi pikiranku menyusun romantisme menyapa pagi ternyata aku sudah sampai di tempat kerjaku. Aku pun bergegas membuka toko dan menyalakan komputer dan mesin kasir. “Pagi yang cerah semoga hari ini tutup buku dengan penjualan yang banyak”, pikirku dalam hati.
Namun pikiranku buyar karena ternyata di hadapanku dan meja kasir sudah ada pembeli pertama di hari ini. Aku dengan lantang sesuai dengan template sapaan wajib pagi pegawai toko berucap, “selamat pagi kakak, apakah ada belanja yang lain?”.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Imabsi Gelar Kelas Karya Batrasia ke-6, Bahas Repetisi dalam Puisi
-
2 Juta Views! Turnamen Sepak Bola Desa di SnackVideo usai Donasi Gawang
-
Cek Fakta: Prabowo Subianto Akan Hentikan Dana Desa, Benarkah?
-
Andre Taulany Banggakan Asistennya yang Pendiam, Sindir Balik Sensen?
-
Ulasan Novel Buku-Buku Loak, Bernostalgia Melalui Sastra Lama
Sastra
Terkini
-
Teka-teki Eliano Reijnders Dicoret STY dari Skuad, Ini Kata Erick Thohir
-
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
-
Kesbangpol dan PD IPARI Karanganyar Gelar Pembinaan Kerukunan Umat Beragama untuk Meningkatkan Toleransi dan Harmoni
-
3 Rekomendasi Film Kolaborasi Memukau Ryan Gosling dan Emma Stone
-
Rekor Pertemuan Timnas Indonesia vs Arab Saudi, Garuda Belum Pernah Menang?