Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Eko Saputra
Ilustrasi pemandangan (pixabay)

   Matahari tepat di puncak. Panasnya menusuk langsung menuju kepala. Aku merasa tubuhku bisa terbakar sewaktu-waktu. Seharusnya, aku sudah mati berbulan-bulan lalu, tetapi entah kenapa, seseorang membuatku bertahan lebih lama. Sampai kapan? Aku tak tahu. Suatu hari nanti, seseorang itu harus rela kehilangan satu-satunya pohon yang tersisa.

    Hari ini—seperti juga hari kemarin, dan kemarinnya lagi—hujan tidak turun. Tidak pernah turun sejak tahun lalu. Aku tak tahu apa penyebabnya. Menurut kabar burung yang kudengar, ada orang yang telah dengan sengaja memanipulasi cuaca dan tatanan langit. Orang sakti itu dibayar untuk mencuri awan-awan demi menurunkan hujan lebat (hingga banjir) di suatu kawasan lain. 

    Aku tidak tahu orang itu bekerja untuk siapa. Siapa pun itu, pastilah dia termasuk jenis manusia yang senang melihat sesamanya menderita; kekeringan di satu daerah, kebanjiran di daerah lain. Seandainya aku bisa bergerak lebih bebas, sudah pasti kucari siapa dalangnya dan kutikam dengan ranting-ranting tajamku hingga tewas.

    Namun, tak ada yang bisa berubah dengan berpikir “seandainya, seandainya”. Aku harus bertindak. Namun, di sanalah ketidakadilan berada; aku tidak bisa bertindak. Aku hanya bisa diam di tempat, menyaksikan lalu-lalang kendaraan dari siang ke siang. Pasrah diguyur hujan, disengat panas, diterpa angin kencang, dilempari batu, dihinggapi burung-burung, juga menghadapi risiko tersambar petir. 

    Bertahun-tahun lalu, aku tidak pernah sebegini mengeluhnya. Dahulu, aku bersyukur lahir sebagai pohon, tumbuh bersama waktu dan anak-anak lucu yang bermain-main di bawah rindangku. Aku menikmati setiap siraman cahaya pagi dan guyuran lembut hujan sore, pun sinar temaram dewi malam, juga kesunyian dini hari. Dahulu, aku senang jika ada yang menaiki tubuhku dan mencuri buah-buah ranum; senang saat burung-burung membangun sarang di sela dahanku, mendengar kicau bayinya; senang saat batang lebarku dijadikan tempat persembunyian bocah-bocah sekolah sambil cekikikan ketika bermain petak umpet. Dahulu, hidup sebagai sebatang pohon adalah kenikmatan tiada tanding. 

    Namun, sekitar satu tahun lalu semua berubah. Aku ingat waktu itu mendadak hujan turun dari pagi hingga larut malam, hanya reda beberapa jam sebelum kembali turun lagi dengan derasnya. Hujan seminggu yang tak henti-henti ini membuat kota kami kebanjiran. Warga yang tinggal di kawasan rendah meninggalkan rumah yang tenggelam, beralih ke pengungsian yang lebih tinggi. Berminggu-minggu hujan tak selesai, air semakin naik. Pengungsian pun sampai ke titik putus asa. Wali kota pusing tujuh keliling memikirkan masalah ini. Seharusnya, warga bisa dipindahkan lebih jauh lagi ke kota tetangga yang tenteram. Namun, kota sebelah itu tidak mau menerima orang-orang dari kotaku. Kota kami dan kota tetangga dibatasi pagar besi tinggi yang berdiri kokoh mengelilingi perbatasan. Aku tidak tahu kenapa, tetapi pernah kudengar bahwa dahulu sekali dalam sejarah, dua kota ini memiliki dendam kesumat satu sama lain. Kebencian itulah yang diwariskan leluhur kepada anak cucu mereka. 

    Aku sendiri merasa sangat bersalah karena akar-akarku tidak cukup cepat menyerap hujan yang hampir tanpa henti. Aku saksikan teman-temanku juga kewalahan. Kami menangis, kami merasa tidak berguna. 

    Satu bulan berlalu dan kami nyaris hilang harapan. 

    Akhirnya, satu kesepakatan muncul. Kami—pohon-pohon pinggir jalan ini, mengutuk langit. Serentak kami bersorak pada awan-awan hitam yang menggantung di atas sana. 

    “Hei, Awan!  Apa sebenarnya maumu? Apa salah kami? Apa maksud semua ini? Tidakkah kau lihat sebentar lagi kami akan mati? Hentikan hujan ini! Hentikan hujan ini!”

    Salah satu awan mendekat ke bumi. Wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah, “Halo, pohon-pohon. Apakah kalian yang memanggil kami? Aku dengar ada suara-suara teriakan dari bawah sini?”

    “Ya!” balasku tanpa menurunkan intonasi. “Mengapa semua ini terjadi? Tidak bisakah kau hentikan hujan ini. Kau lihat kami semua sengsara. Sebagian anak-anak dan orang tua hanyut, rumah-rumah tenggelam, warga kami tak bisa bekerja dan sekolah. Ini semua salahmu. Sekarang juga hentikan hujan ini!“

    “Sayang sekali, kami tidak bisa melakukannya.”

    “Apa maksudmu?” Suaraku semakin tinggi. 

    “Sebenarnya,” awan itu mulai menjelaskan, “kami pun tidak tahu kenapa ini bisa terjadi. Kami bahkan tidak bisa mengendalikan tubuh sendiri. Aku mohon maaf, tapi aku benar-benar tidak tahu. Namun, kata salah satu yang lebih tua di antara kami, ada yang mengendalikan ini semua.”

    “Aku tidak mengerti,” balasku. 

    “Tahukah kau,” sambungnya, “sekarang kalian kebanjiran. Tetapi, salah satu kota lain sedang kemarau panjang. Sebenarnya, ada seseorang yang memiliki kekuatan busuk ini. Ia bisa memanipulasi cuaca dan musim, juga mengubah letak-letak benda langit. Ia melakukannya mungkin atas perintah seseorang.” Awan itu berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Bulan lalu, kami juga telah menenggelamkan satu kota di seberang pulau sana. Sekarang, kami hanya bisa berharap semoga orang sakti ini cepat-cepat memindahkan kami agar kota kalian tidak sampai tenggelam sepenuhnya.”

    Percakapan berhenti sampai di situ. Aku dan pohon-pohon lain ternganga. Itu sungguh sebuah berita besar. Seandainya manusia-manusia yang putus asa itu mendengar kabar ini. Namun, mereka tidak mengerti bahasa awan, pun kami sama tidak bisanya berbicara pada manusia. Aku tak tahu. Sebenarnya, aku pun putus asa.

    Satu bulan lebih satu minggu ketika akhirnya nasib baik berpihak kepada kami. Hujan perlahan berhenti. Kulihat arak-arakan awan menjauh dari kota kami. Mereka tentu diarahkan ke kota-kota lain. Aku turut berdukacita untuk kebanjiran yang akan ditimpakan ke kota-kota sana. Saat ini, aku sangat bersyukur. Satu hari kemudian hujan pun benar-benar tiada. Cuaca cerah cemerlang. Aku dan teman-temanku tertawa bahagia. Begitu juga dengan warga. Kulihat Wali kota berdiri di podium, berpidato dengan penuh semangat. Kota yang baru pun siap dibangun. 

    Namun, berminggu-minggu kemudian kami menyadari ada yang tidak beres. Hujan memang telah pergi, tetapi mengapa mereka tidak kembali? Barangkali satu kali dalam seminggu? Aku dan pohon-pohon lain curiga, orang sakti itu akan menimpakan bencana kedua ke kota kami; kekeringan tanpa ampun. 

    Maka terjadilah, dan satu per satu temanku wafat. Kami bahkan tak sempat saling mengucapkan selamat tinggal. 


***

    Aku tentu sudah mati seperti mereka seandainya laki-laki itu tidak mengunjungiku setiap sore dan menyiramkan segalon air ke tanah tempatku berdiri. Dialah satu-satunya alasan mengapa aku tetap bertahan sampai sekarang. Laki-laki itu tinggal sendiri, rumahnya di depanku. Usianya kuyakin sudah lewat 80 tahun. Dia satu-satunya manusia yang bersikukuh tinggal di kota ini setelah semua warga mengungsi ke kota-kota yang jauh, bahkan ke luar negeri. Namun, laki-laki ini —yang aku tidak tahu siapa nama dan alasannya menyiramku tiap sore—bahkan seolah tak terpengaruh oleh apa pun. 

    Matahari mulai tergelincir, tetapi panasnya sama saja. Tubuhku tinggal separuh kehidupan. Daun-daun rimbunku sudah banyak yang ranggas. Ranting-rantingku rapuh. Buah-buahku sudah lama tak tumbuh. Badanku melemah. Barangkali hidup tinggal satu-dua minggu saja. 

***

    Dari kejauhan, kulihat lelaki tua itu terseok-seok menyeret satu galon air. Aku juga penasaran, dari mana dia mendapatkan air itu? Bukankah kota kekeringan? Tetapi, kusimpan saja pertanyaan itu, toh bahasa kami berbeda. Laki-laki tua itu sampai ke tempatku dengan napas tinggal satu-dua. Aku yakin sebentar lagi dia juga bakal mati. Dia memandang ke atas, ke puncak tubuhku, seakan-akan ia memintaku bertahan lebih lama lagi. Akulah satu-satunya teman yang dia punya sekarang. Beberapa waktu lalu ketika seluruh warga meninggalkan kota, laki-laki tua ini memulai ritual sorenya dengan menyiramku dan teman-temanku. Saat itu, ia bolak-balik membawa segalon air. Namun, seolah tak ada arti, teman-temanku tetap saja mati dimakan waktu dan cuaca. Aku tahu, mungkin laki-laki tua ini pun tahu, bahwa satu galon air setiap sore saja tak akan cukup untuk mempertahankan kehidupan pohon. Bahkan, air yang ditumpahkannya itu sudah lebih dulu diserap panas terik sebelum akarku sempat meminumnya. Namun, laki-laki tua ini tetap saja mengerjakan hal sia-sia tersebut. Inilah alasan mengapa aku tak sudi cepat-cepat mati. Aku tak mau dia menderita atas kehilangan satu-satunya teman yang tersisa. Namun, aku juga tidak hidup lama sesukaku, dan aku bukan Tuhan.

***

    Bulan berganti bulan, tubuhku tinggal setitik kehidupan. Daun-daun yang lepas itu menyatu dengan tanah luas di kakiku. Matahari tepat di puncak. Aku merasa bisa terbakar sewaktu-waktu. Aku akan mati hari ini, itu pasti. Napasku tinggal beberapa embusan. Namun, Tuhan, izinkan aku bertahan sampai sore nanti. Aku ingin mengucapkan selamat tinggal pada lelaki tua itu. Doa-doaku tak pernah terkabul. Satu detik kemudian napasku berhenti. Rohku tanggal, melayang-layang di udara siang yang ganas. 

    Rohku semakin tinggi. Dapat kusaksikan dari atas sini pemandangan kota yang pilu. Untuk pertama kalinya, aku dapat bergerak bebas. Nun di kejauhan sana, mungkin di batas kota, kulihat seseorang sedang berlutut di atas tanah. Kedua tangannya terangkat, menari-nari di udara. Sedang apa dia? Sesaat kemudian aku terperanjat menyaksikan awan-awan di langit bergerak mengikuti gerakan tangan orang itu. Awan-awan mendekat ke kota kami. Sekarang aku tahu, dialah manusia biadab yang telah mengendalikan cuaca di muka bumi. Apa lagi maunya? Menimpakan banjir kedua kepada kami? Tak ada kehidupan lagi di sini, tinggal seorang laki-laki tua.

    Laki-laki tua?

    Mendadak satu kesadaran muncul. Dengan kecepatan penuh, aku melesat menuju perbatasan kota, semakin dekat semakin jelas. Prasangkaku tidak salah. Pengendali cuaca ini, tak lain adalah lelaki tua baik hati yang menyiram kami setiap sore. Aku tak sempat berpikir apa-apa. Dalam luapan emosi tiada tanding, kutikam tubuh ringkihnya bertubi-tubi dengan ranting-ranting tajamku. Tanpa ampun, segenap tenaga kukerahkan. Dia harus merasakan kesakitan yang sama parahnya dengan seisi kota kami.

    Namun, aku tinggal roh tanpa tubuh. 

Pekanbaru, 2021

Eko Saputra

Tag