Scroll untuk membaca artikel
Munirah | ahmaddahri
Ilustrasi Ayah dan Anak. (Pixabay)

Deru angin menyapa rerimbunan, dari jauh melambaikan ke arah barat. 

Dari sepagi itu semangatnya bergulir tiada henti, angin menyapa dari kejauhan, menyelinap di antara lubang-lubang dinding tabing. 

Langit biru semangat mentari secerah senyum dan tegak kepalanya. Seperti angin yang menyapa sepagi tadi, ia tetap menjamah kerisauan dengan lalu lalang gigih tangan dan kakinya. 

Langkahnya diiringi sepoi angin pagi ini, kebul asap dari dapur mengiringi ujaranya yang serat. "Aku masih sama seperti dulu, ketika muda, masih merasa akan hidup sepanjang masa."

Lamunanku bergegas menuju masa mudanya, yang syarat akan kisah di antara semangat dan juang, yang kaya akan rahasia siapa yang akan mengetahuinya sekarang, yang penuh dengan gumpalana air mata dan luberan senyum menyusul kemudian.

Ia tetaplah seorang ayah, sampai kapanpun, sampai angin berhentipun, ia tetaplah seorang ayah, ayah dari siapapun, kakeh dari semua cucu, dan cahaya dari semua kegelapan, rerimbunan dari semua kesejukan, dahaga dari semua kehausan, hilir mudik dari semua diam kenestapaan, dan cerita dari semua kebisuan.

Entah, pagi ini secerah semangatnya, atau memang ingin mewakili semua keluh dan bahagianya, atau memang tak ingin melepas cerita tentangnya, agar terwakili apa yang menjadi dirinya, dari mana ia berasal dan kemana ia bersimpuh. 

Angin menbawa awan menuju arusnya, membawa dedaunan kering menuju barat, menuju arah dari yang ditentukannya, menunu ruas yang menjadi tujuannya, menuju kegembiraan menyambut hujan, atau menuju siap yang silir tanpa kepanasan.

Rumah pinggir kali, 2021

ahmaddahri