Aku panjangkan rambut di kepalaku.
Aku mencoba keluar dari hal tabu dan ketidakbiasaan.
Aku bukan perempuan, aku tetaplah laki-laki.
Aku tampil beda di antara orang-orang banyak.
Aku merasakan masih banyak di tanah ini berpikir sempit.
Menilai hanya sebatas apa yang dilihat.
Menganggap hal aneh sebagai suatu kesalahan.
Mengutuk orang-orang yang ingin bebas berekspresi.
Rambutku yang panjang, penuh hinaan.
Rambutku jadi omongan tetangga.
Rambutku yang gondrong cemooh warga kampung. Aku tak tahu, ada apa dengan rambut gondrong.
Apakah rambut gondrong, terlihat jorok?
Apakah rambut gondrong tidak perkasa.
Tidak, tentu tidak.
Itu hanyalah dogma masa lalu.
Dogma yang selalu diagung-agungkan walau tak berguna lagi.
Aku ingin bebas dan merdeka.
Aku ingin gondrong dan merdeka.
Baca Juga
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Ahli Gizi: Pahlawan Super yang Cuma Ditelfon Kalau Badan Sudah Ngeluh Keras
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
KPK setelah Revisi: Dari Macan Anti-Korupsi Jadi Kucing Rumahan?
-
Merantau: Jalan Sunyi yang Diam-Diam Menumbuhkan Kita
Artikel Terkait
-
Antrean Panjang di Stasiun, Kenapa Kereta Api Selalu Jadi Primadona di Periode Libur Panjang?
-
Laki-Laki Perlu Safe Space: Saatnya Lawan Bullying dari Beban Maskulinitas
-
Intip Kemewahan 'Legacy of Love': Mengapa Perhiasan Kini Jadi Ekspresi Diri dan Seni
-
6 Film Terbaik FFI Angkat Isu Perempuan
-
Tersandera Maskulinitas, Laki-Laki Takut Mengaku Dilecehkan
Sastra
Terkini
-
Hemat Waktu dan Tenaga, Ini 7 Cara Efektif Membersihkan Rumah
-
4 Cleanser Korea dengan Kandungan Yuja untuk Wajah Sehat dan Glowing
-
Menopause Bukan Akhir, tapi Transisi yang Butuh Dukungan
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker
-
Totalitas Tanpa Batas: Deretan Aktor yang Rela Ubah Penampilan Demi Peran