Bukan aku tak syukur dewasaku kali ini.
Bukan aku tak mau hidup dewasa.
Sekarang ini aku banyak melihat masalah.
Hari anak nampak jelas di mataku manusia-manusia munafik.
Andai aku masih bayi.
Aku pasti dapat tertawa terbahak-bahak dengan diriku.
Aku pasti merasakan pelukan dari orang-orang tersayang.
Aku pasti bahagia saat orang mengajak bercanda.
Andai aku masih bayi.
Aku tak mungkin melihat rusaknya bumi ini oleh tangan manusia sendiri.
Aku tak mungkin pula melihat penindasan manusia atas manusia.
Atau apakah memang beginilah kehidupan pada masa dewasa.
Apakah tidak mungkin aku merasakan kegembiraan seperti masa bayi dulu?
Apakah salah menginginkan kebahagiaan seperti aku masih bayi?
Ohh, mengapa dan mengapa?
Makin manusia dewasa, mereka malah merampas kebahagiaan orang lain.
Merusak bumi dan isi-isinya.
Baca Juga
-
Hari Raya Idul Fitri, Memaknai Lebaran dalam Kebersamaan dan Keberagaman
-
Lebaran dan Media Sosial, Medium Silaturahmi di Era Digital
-
Ketupat Lebaran: Ikon Kuliner yang Tak Lekang oleh Waktu
-
Dari Ruang Kelas ke Panggung Politik: Peran Taman Siswa dalam Membentuk Identitas Bangsa
-
Menelisik Sosok Ki Hajar Dewantara, Pendidikan sebagai Senjata Perlawanan
Artikel Terkait
-
Gempa Magnitudo 5 Guncang Mandalay, Myanmar Kembali Bergetar
-
Myanmar Umumkan 7 Hari Masa Berkabung, Min Aung Hlaing Minta Bantuan Malaysia Pasca Gempa Maut!
-
Telan Korban Jiwa 1.700 Orang, Ini Hal-hal yang Perlu Diketahui Tentang Gempa Myanmar
-
Korban Tewas Gempa Myanmar Naik Jadi 1.700, Pusat Kremasi di Mandalay Sampai Kewalahan
-
Lebih Bahagia dengan Cara Sederhana: Mulai dari Micro-Moments of Happiness
Sastra
Terkini
-
Bikin Gagal Move On! 3 Drama Medis Korea Ini Siap Bikin Kamu Pengen Jadi Dokter!
-
Reuni Lagi, Lee Do Hyun dan Go Min Si Bakal Bintangi Drama Baru Hong Sisters
-
Review Novel 'Entrok': Perjalanan Perempuan dalam Ketidakadilan Sosial
-
Lebaran Usai, Dompet Nangis? Waspada Jebakan Pinjol yang Mengintai!
-
Mark NCT Wujudkan Mimpi Jadi Bintang di Teaser Terbaru Album The Firstfruit