Bukan aku tak syukur dewasaku kali ini.
Bukan aku tak mau hidup dewasa.
Sekarang ini aku banyak melihat masalah.
Hari anak nampak jelas di mataku manusia-manusia munafik.
Andai aku masih bayi.
Aku pasti dapat tertawa terbahak-bahak dengan diriku.
Aku pasti merasakan pelukan dari orang-orang tersayang.
Aku pasti bahagia saat orang mengajak bercanda.
Andai aku masih bayi.
Aku tak mungkin melihat rusaknya bumi ini oleh tangan manusia sendiri.
Aku tak mungkin pula melihat penindasan manusia atas manusia.
Atau apakah memang beginilah kehidupan pada masa dewasa.
Apakah tidak mungkin aku merasakan kegembiraan seperti masa bayi dulu?
Apakah salah menginginkan kebahagiaan seperti aku masih bayi?
Ohh, mengapa dan mengapa?
Makin manusia dewasa, mereka malah merampas kebahagiaan orang lain.
Merusak bumi dan isi-isinya.
Baca Juga
Artikel Terkait
Sastra
Terkini
-
Dear PSSI, Timnas Indonesia Tak Butuh Pelatih Terkenal, tapi Pelatih yang Miliki Kriteria Begini!
-
Tren Quiet Weekend Jadi Gaya Healing Baru Anak Muda
-
Kasus Ridwan Kamil Makin Panas, Lisa Mariana Resmi Jadi Tersangka!
-
Gerbong Pelatih Belanda di Timnas Indonesia: Minim Kontribusi tapi Daya Rusaknya Luar Biasa
-
Mengenang Timothy: Mahasiswa Kritis di Negeri yang Tak Suka Dikritik