Terbunuh oleh ketidakadilan yang perlahan merangkul seluruh jiwa. Menjadi tak tertahankan lagi ketika ketidakadilan terus-terusan menginjak harga diri rakyat. Hukum hanya berpihak bagi yang berduit. Tajam ke bawah tumpul ke atas.
Seakan rakyat dipermainkan keadaan oleh sang rezim tirani. Rezim yang semakin membabi buta menusuk segala ketidakadilan pada jantung rakyat. Tusukan ketidakadilan terasa pedih. Yang pedihnya mengalahkan pedihnya luka pedang.
Ketidakadilan hanya sebuah pemandangan lazim yang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi rakyat. Sebuah jargon keadilan yang lantang disuarakan koar-koar kala kampanye hanyalah tong kosong nyaring bunyinya.
Keadilan yang lantang bergetar dari panggung badut kampanye hanyalah omong kosong belaka. Omong kosong mulut-mulut calon penguasa. Hanyalah sebuah utopia yang tak ada wujudnya dengan nyata.
Namun saat penguasa memakai tangan besi tuk menindas nyawa para jelata. Kian lama nyawa para jelata kian terbuang jauh sia-sia. Nyawa jelata yang dibayar oleh kebodohan jargon penuh kebohongan. Kampanye tak ubahnya bagai sirkus badut politik.
Hingga keluguan jelata yang telah terbayarkan dengan suara rakyat bergincu demokrasi. Demokrasi yang melahirkan ketidakadilan. Kini jelata yang menikmati buah dari ketidakadilan. Buah dari keluguan hati mereka yang terbuai obralan janji
Sungguh trenyuh hati pula saat mereka dalam tipuan demokrasi. Mereka yang tak paham tentang kata demokrasi. Sebuah ilusi demokrasi yang menjadikan bentuk ketidakadilan yang begitu menghabisi seluruh kehidupan para jelata
Baca Juga
Artikel Terkait
Sastra
Terkini
-
Jago Matematika Disebut Pintar: Kenapa Angka Jadi Ukuran Cerdas di Indonesia?
-
Zita Anjani dan Gelombang Kritik: Antara Tanggung Jawab dan Gaya Hidup
-
Ghosting Bukan Selalu Soal Cinta: Saat Teman Jadi Avoidant
-
Demo Ojol Geruduk DPR di Tengah Hujan: Ini Tuntutan Pedas Mereka!
-
Belum Juga Jera, AFC Kembali Bikin Ulah Jelang Bergulirnya Ronde Keempat Babak Kualifikasi