Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi Perlawanan. (pixabay.com)

Terpahat sebuah perlawanan yang meledakkan segala penjuru negeri. Para jelata muak dengan tingkah bengis sang penguasa yang menjerumuskan rakyat dalam nelangsa abadi. Nelangsa yang telah kenyang dilahap para jelata.

Situasi amburadul penjuru negeri yang semakin tak karuan dalam genangan penindasan. Penindasan demi penindasan yang terus saja menemani para jelata. Sementara para elit bersantai ria sembari tertawa.

Para elit tertawa berpesta bersama sang penguasa menatap orkestra kemelaratan para jelata yang terus menjerit dalam nelangsa. Nelangsa hidup para jelata yang menjadi hiburan segar bagi para elit.

Para elit merasa persetan dengan nasib para jelata. Diamlah para elit dengan cengkeraman penindasan bertubi-tubi kepada para jelata.

Waktu demi waktu berjalan terjadi dentuman perlawanan yang menimbulkan api berseru akan lawan penindasan. Hingga para elit dibuat pusing dengan dentuman perlawanan yang bergaung penjuru negeri. 

Dibuat pusing bukan main penguasa yang sedang berpesta dalam kesenangan bersama para elit. Seakan mereka terguncang dengan mendengar dentuman perlawanan yang terus bergaung tanpa berhenti.

Berseru melawan penindasan bersatu para jelata bersama rakyat lainnya. Tiada batas latar belakang mereka. Hanya satu perlawanan yang mempersatukan jiwa dalam senasib sepenanggungan. 

Tempat megah istana sang penguasa tempat berdansa bersama para elit perlahan bergetar. Dentuman perlawanan yang berseru mengguncang istana megah sang penguasa. Seolah berada di ujung kekuasaan yang dia peluk erat-erat

Rico Andreano Fahreza