Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Ina Barina
Siluet kesedihan. (Pixabay)

Kita pernah berjanji,

Untuk ada dalam setiap melodi yang hidup di alunan hidup kita,

Kamu tidak akan peduli pada bisingnya kehampaan dalam alunanku,

Dan aku juga tidak akan menghiraukan bagaimana sepinya keramaian dalam alunanmu,

Sebuah janji yang begitu manis,

Janji yang begitu mengikat kita pada sebuah perasaan tak berlogika.

Indah bukan,

Andai saja hidup sesederhana membuat janji-janji manis,

Mungkin,

Kita tidak akan pernah berada disini.

Berada dalam jarak yang menjauhkan hati tetapi melekatkan logika,

Berada dalam sebuah situasi, yang kita sendiri tidak bisa menerkanya dengan pasti

Rasanya, hati yang dulunya penuh dengan seluruh warna bunga

Kini menjadi sebuah padang yang gersang,

Ingin hati untuk melompat menjauh,

Tetapi ditahan oleh kuatnya logika-logika klasik

Bagaimana bisa,

Sebuah perasaan mampu berubah secepat ini,

Menjadi serpihan, yang tak berdaya untuk kembali menyatu

Kita bukanlagi sepasang alunan yang menyatu dalam harmoni,

Kamu hanyalah kamu, dengan segala duniamu yang begitu asik

Dan aku, sibuk dengan segala kehampaan dari setiap ruang kehidupanku

Ini begitu menyiksa,

Seakan berusaha untuk terus menyatukan langit dan bumi dalam satu ikatan,

Tapi,

Bukankah langit dan bumi memang berada dalam satu ikatan?

Ya, meskipun hanya sekedar dalam kebermanfaatan

Hal-hal yang mulai tak berperasaan, menguasai setiap logikaku yang masih tersisa

Rasanya, sudah saatnya logika ini mati

Sudah saatnya kita saling membuka hati,

Bahwa nyatanya,

Kita sudah lama lepas dari ikatan manis itu,

Kita sudah lama tiada.

Ina Barina