Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fachry Fadillah
Ilustrasi kertas dan pena (Freepik).

Teruntuk sang kekasih

Izinkanlah daku memberimu seuntai puisi

Yang ku tulis pada selembar kertas usang berbalut kenang

Di dalam puisi ini

Terdapat kata-kata yang dengan gembira memuja-muji namamu

Meskipun begitu

Tak sedikit pula kata-kata yang dengan tabah melepas bahagiamu

Teruntuk sang kekasih

Ketahuilah bahwasanya tiada sepatah katapun yang ku tuliskan bila bukan karena rindu

Kata-kata yang kau baca, kata-kata yang kau cerna, tak lain adalah anak dari sebuah perasaan yang bernama cinta

Wahai sang kekasih

Ingatkah kau pada waktu itu?

Pada waktu dimana ia berputar dengan semu

Sebab terayu oleh senyumanmu

Senyuman yang kau berikan, wahai kekasihku, aku tahu itu berasal dari dalamnya perasaan, aku tahu, sebab aku lelaki kesepian

Pada saat itu, pada saat aku melihat senyummu, takdirku seakan-akan memuja-muji kehadiranmu

Seperti hamparan samudera yang menyimpan banyak kecemasan, kau tiup aku dengan lembut sapaanmu

Dan kau jadikan ombakku bergemuruh menghantam pesisir pantai dengan sukacita

Engkau, kekasihku, yang membuat samudera di jiwaku bahagia sebab memilikimu.

Wahai kekasihku

Memilikimu memang bukanlah apa-apa, dan mencintaimu ialah segalanya

Meski samudera tak bisa menggenggam mutiara, namun mutiara aman di dasar jiwanya, dengan gelap yang meneranginya

Wahai kekasihku

Cinta memang tak selalu memiliki, namun biarkanlah engkau milikku seorang diri

Wahai kekasihku

Cinta memang tak harus terikat

Namun biarkanlah cintaku padamu mengikat segala ketidakmungkinan

Engkau mungkin tak menyadari, bahwa senyum yang kau beri kepeda seseorang dapat mengubah hidup orang itu

Namun aku menyadari, bahwa hidup orang itu pun dapat mengubah senyumanmu

Aku tahu, wahai kekasihku, sebab akulah orang itu

Dan engkau, wahai kekasihku, tak pernah menyadari, luka mana yang telah kau obati, dan kau tak pernah mau mengakui, hatiku lah yang telah kau buka kembali

Wahai kekasihku

Pintu hatiku telah terbuka dan bersedia menantimu selamanya

Meski sesekali ku tutup, sebab takut ada orang menyelinap masuk

Wahai sang kekasih

Aku sebenarnya tidak takut kepada orang yang mengunjungi hatiku, sebab hatiku kosong, dan hanya engkau kekasih yang mengerti bagaimana caranya menghibur hatiku yang sepi

Wahai kekasihku

Kini ku relakan dirimu pergi, dan ku tutup pintu hatiku kembali

Bila suatu saat kau kembali dan menemukan hatiku tak berpenghuni

Percayalah

Bahwa hatiku telah ku tinggal mati

Terima kasih kekasihku, sampai jumpa di masa lalu...

Bogor, 8 September 2021.

Fachry Fadillah