Scroll untuk membaca artikel
Tri Apriyani | Xandra Junia Indriasti
Berbicara dengan teman virtual menggunakan fitur pesan instan (pixabay)

Seringkali aku berpikir apakah semua orang yang selama ini berbuat baik merasa terbebani atau tidak. Pasalnya, aku terus mengeluh, seakan tidak bersyukur memiliki mereka pada kehidupan ini. Padahal yang kumaksud bukan mengarah kesana.

Sepanjang tahun, usai tak lagi melanjutkan pekerjaan, aku merasa tingkat percaya diri semakin menurun. Aku bahkan sulit untuk bangkit dan bergerak maju. Harapan untuk tetap hidup pun seolah sirna.

Aku pergi dari kantor lantaran mengidap kecemasan berlebih. Penyebabnya? Terlalu sering diberi ejekan yang mengarah pada fisik. Aku awalnya tidak peduli, tapi mereka semakin menjadi-jadi. 

Sejak saat itu, aku takut menemui siapapun. Oleh karenanya, aku memilih untuk berdiam diri di rumah tanpa melakukan apa-apa. Bodoh memang, tapi semua demi kesehatan mentalku.

Sebelum bertemu orang-orang asing dan baik yang disebutkan di awal cerita itu, aku sering menyakiti diri sendiri. Beberapa kali nyawa hampir melayang, namun nyatanya Tuhan masih ingin aku menjalani kehidupan.

Aku kembali pada tanggungan orang tua. Keduanya terlihat lelah dengan kondisi-ku, tapi tetap berlapang dada dan yakin bahwa aku bisa seperti dulu. Di sisi lain, aku merasa sulit dalam memicu keberanian.

Untuk itu, aku yang sakit ini seringkali merasa tidak pantas lagi mengisi hari-hari. Begitu pun dengan menerima kebaikan yang bertubi-tubi. Terlebih, aku hanya membalasnya dengan sebuah doa, yang mereka anggap cukup.

Mereka tidak pernah menemuiku dan juga sebaliknya. Kami hanya berteman secara virtual. Namun, mengapa mereka terus-terusan baik? Aku pernah bertanya dan dijawab karena setiap manusia perlu saling membantu.

Hal itu sangat dibenarkan. Aku salut atas kepercayaan mereka yang diberikan padaku. Untuk itu, aku berjanji akan berbuat sesuatu yang sama di kemudian hari.

Berbagai jenis bantuan mereka beri. Mulai dari motivasi hingga biaya hidup. Orang tuaku hanya mampu menanggung makan. Jadi, mereka mengatakan bahwa aku perlu memenuhi kebutuhan lain agar bisa merasa bahagia.

Teman-teman virtual, beribu-ribu kali kuucapkan terima kasih kepada kalian. Entah apa jadinya jika kita tidak bertemu. Mengingat keluarga sulit menyemangati karena mungkin merasa bingung.

Semoga kita bisa segera bertemu dengan kondisi mentalku yang lebih membaik dan siap untuk kembali bertemu orang lain. Tentunya, tanpa rasa takut dirundung dengan rasa percaya diri tinggi.

Sampai nanti, dari aku yang menyayangi kalian, Kikan. Ah pesan untuk kamu yang membaca cerita singkat ini, percayalah bahwa kamu tidak sendiri. Mereka yang entah darimana asalnya, bisa saja menjadi yang terbaik dalam hidupmu.

Xandra Junia Indriasti