Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustrasi Tanah Tandus. (Pixabay)

Kemarau memanggil nama manusia yang berteriak sangat lantang berurai peluh keringat yang membanjiri hamparan tanah sangat luas. Kemarau yang membara usai hujan sangat mendera langkah manusia. Pelukan memoar manusia yang mengharapkan sumber kehidupan. Sumber kehidupan bergeliat tak ada semu sama sekali.

Dera manusia amat menusuk batin seolah tak pernah putus. Yang selalu tersingkap nyata bertebaran segala macam rasa. Muatan wahyu bergolak memutus cakrawala yang kelam. Tergantikan cakrawala terang benderang memancarkan jutaan inspirasi sangat membangun semua kehidupan.

Kala kemarau manusia tergeletak dalam kekeringan kehilangan air. Teriakan yang bergaung seluruh dunia memohon-mohon mengais air. Sumber air begitu terbentang yang telah lenyap kala kemarau menghampiri bumi. Terik panas matahari yang membakar raga memanggil nama manusia berimaji dalam sekarat.

Seolah nyawa tiada guna di muka bumi berada dalam amukan kemarau. Kemarau yang mendera nyawa sangat membunuh jiwa yang meronta-ronta sekarat. Sekarat bergelimpangan yang bernaung pada tanah-tanah tandus. Tanah tandus retak-retak tanpa genangan berkah limpahan air.

Seketika manusia menemui batas kehidupan dalam ketiadaan air. Amukan kemarau yang menghantam seluruh kehidupan. Seolah kehidupan sudah tak bernilai membawa manfaat lagi. Genangan air amat dinanti bagi segenap yang menangis kehilangan air. Air yang telah musnah dilumat oleh kemarau.

Sangat sadis kemarau dalam durjana amukannya yang tak kenal kata ampun membunuh jiwa yang terbelenggu dalam ketiadaan air. Entah kapan berakhirnya amukan kemarau.

Taufan Rizka Purnawan