Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Dream Praire
Ilustrasi wanita dan hujan. (Pixabay)

Usai janji terucap hidup pun spontan terikat

Bersama menjalani rasa sebagai sebuah hakikat

Segala keindahan melambungkan perasaan

Mengalahkan manis nektar bunga yang bermekaran

Dalam hitungan bulan tabir keindahan tersibak

Membuka semua kenyataan yang tak pernah tertebak

Tak dapat terukur rasa kecewa yang membumbung

Namun masih tak menandingi rasa kaget juga bingung

Mengapa begitu cepat sikap dan sifat berubah

Ataukah memang selama ini hanya menggubah

Ribuan pertanyaan yang tak menemukan jawaban

Teronggok dibawah sejuta penyesalan yang meniban

Padang bunga berwarna-warni  yang terbayang indah

Seakan lenyap tak berbekas dan telah berpindah

Yang dirasanya bukan lagi angin lembut membelai kulit

Melainkan topan prahara yang bertiup melilit-lilit

Hujan yang turun tak lagi mengundangnya menari

Hanya menemaninya menangisi hari demi hari

Sinar mentari yang semestinya memberinya rasa hangat

Seakan menimpa kulit yang ruam terasa demikian menyengat

Sekian rasa sakit yang tersebar  meletup perih dan pedih

Berbaur menjadi satu dengan amarah yang mendidih

Tersabda satu kalimat yang  tersembunyi dibalik kata tabu

Bahwa mereka pada akhirnya tak dapat lagi berbagi kelambu

Dalam kesendirian termangu meratapi kegagalan

Memandangi tercerai- berainya rencana di perjalanan

Tiada lagi guna menangisi impian yang terkubur

Sia-sia semua penyesalan saat nasi sudah menjadi bubur

Pernah terlintas keinginan untuk menyerah

Saat keadaan buruk  menjadi demikian parah

Tetapi suara kecil di sudut hatinya melarang

Agar tak menjadi kalah sebelum berperang

Walau kebersamaan tak bisa lagi menjadi pilihan

Walau semua harus berakhir dengan perpisahan

Bayangan impian yang terbayang jelas dalam penglihatan

Membangkitkan asa meraih kembali sebuah kesempatan

Borneo, Oktober 2021

Dream Praire