Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi seorang anak kecil dan neneknya. (pixabay.com)

Sebuah nyawa seolah tak berujung kepada moncong peluru yang menghadang raga. Raga yang sudah tak kebal lagi dengan ancaman peluru yang siap menghujam kapanpun. Nyawa yang telah tertindas sebuah kuasa pemimpin bermandikan nafsu fasis. Kuasa sang pemimpin yang sangat ganas bagi mereka yang berbeda dengan kebijakan sang pemimpin. Dalam ancaman mereka yang terkucilkan dari mayoritas yang menjilat kaki sang pemimpin.

Parutan semua luka nelangsa bergoyang mengubah pijakan mereka yang selalu berbeda dari elit mayoritas. Mereka para minoritas yang tercerabut hak-hak asasinya. Tak ada keadilan yang menaungi mereka. Seolah keadilan hanya monopoli bagi para mayoritas. Mengais untung para mayoritas yang selalu bertepuk tangan dalam pesta pora bersama sang pemimpin.

Sang pemimpin menjadi tirani dalam kuasanya. Tak ada naluri manusiawi yang bersama dalam diri sang pemimpin. Melumat habis nyawa para minoritas yang tak ada lagi pijakan dalam menetap di suatu negeri. Sebuah negeri acakadut tak ada keamanan sejati yang diraih bagi para minoritas. Mereka para minoritas yang sudah penat mencari keadilan kemana-mana. Namun mustahil keadilan yang telah mereka raih.

Bias kemakmuran yang selalu digaungkan oleh elit penjilat sang pemimpin yang mendustai rakyat. Para minoritas menjadi putus asa dalam utopia kemakmuran yang terus diulang-ulang. Lipatan kemakmuran hanyalah pemanis kala kemakmuran itu sendiri dinikmati oleh elitis.

Rico Andreano Fahreza