Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Rico Andreano Fahreza
Ilustrasi Wanita Penuh Kebahagiaan. (Pixabay)

Ukiran kebahagiaan memulai segala hayat setelah lenyapnya memoar kelam. Memoar kelam akan pengkhianatan cinta yang telah kurasakan. Menghapus duka lara berbaur nestapa batin. Duka lara yang pernah kujalani sangat mendera alam pikiran. Lipatan nestapa bagai neraka dunia membalut semua raga menikam sangat hebat. Meninggalkan semua memoar dalam pengalaman sepanjang hayat.

Melepaskan segala derita yang kuraih dalam pahitnya pengkhianatan dalam cinta. CInta hanyalah gincu pemanis dalam jiwa manusia penuh dusta yang membuai dekapan asmara. Cinta tanpa nalar pikiran membutakan segalanya. Percuma sebuah cinta yang telah diperjuangkan dengan tulus hanya berbuah pengkhianatan. Kala merasa pengkhianatan cinta dari wanita yang amat kucintai.

Begitu pengorbanan cinta yang kulakukan demi wanita yang kucintai. Segala yang kumiliki rela aku korbankan demi cintaku. Kala itu nalar pikiranku buta dalam cinta. Yang gegabah melangkah nekad menyatakan perasaan cinta. Wanita yang amat kucintai telah menerima perasaan cintaku. Dengan berputarnya waktu, tiba-tiba saja wanita yang amat kucintai melangkah pada laki-laki lain.

Sungguh pedih yang kurasakan kala menatap tingakah wanita yang amat kucintai. Berbaur suasana pilu berhias lembaran kesedihan yang nyata. Keputusasaan mendera ragaku. Seakan diriku tak ada faedahnya. Namun berjalan waktu aku membuka semua lembaran baru. Terhapuslah semua kesedihan dalam nestapa. Mengubah kesedihan menjadi pancaran kebahagiaan yang selalu menancap pada rangkaian semua hayat di dunia.

Rico Andreano Fahreza