Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Nurillah A.
Buku Tak Ada Ikan Asin di Lautan (DocPribadi/nurillah)

Mahatma Gandhi pernah berujar, “Ada yang lebih penting dalam hidup ini daripada sekadar meningkatkan kecepatannya.” Jika diteliti lebih lanjut, kalimat ini lahir bukan tanpa musabab. Karena di zaman sekarang, makin hari kian banyak orang serba ingin cepat, dan menginginkan hasil yang lebih cepat. Sehingga, yang terjadi adalah perlombaan paling cepat.

Disadari atau tidak, transformasi zaman telah mengantarkan manusia sebagai generasi sibuk. Jika diibaratkan kereta api, ia terus melaju tanpa stasiun pemberhentian. Kalaupun ada, hanya akhir pekan sebagai stasiun menurun dan mengangkut penumpang. Bukan stasiun akhir sebagai akhir perjalanan. Tak ayal, semua berlomba menjadi paling cepat guna menemukan apa yang disebut kebahagiaan di masa depan.

Hingga akhirnya, perubahan zaman menepikan apa yang sepatutnya diutamakan. Seperti halnya mengejar kekayaan. Kita memuja life is in your hand sebagai doktrin sekuler yang diamini banyak orang. Padahal, “...untuk menjadi kaya bukanlah dengan menggantungkan diri pada pekerjaan. Termasuk menukar waktu salat dengan terus bekerja, waktu menemani anak-anak dengan terus bekerja.” (halaman 46). Justru jawabannya ada di dalam Qur’an. Lain syakartum laazidannakum. Jika kalian bersyukur niscaya akan Kami tambahi. 

Dengan kata lain, faktor usaha dan ikhtiar berada di bawah kekuatan Ilahi. Hanya Dia-lah yang mewujudkan dan Dia pula yang tidak mewujudkan impian kita. “Sekalipun kau kuras lautan, kau takkan menjadi kaya bila Allah tak menghendakimu menjadi si kaya.” (Halaman 19). Apabila dua faktor ini tidak seimbang, maka jomplang-lah kehidupan seseorang.

Inilah jawaban dari apa yang disampaikan Mahatma Gandhi di awal tadi. Kebutuhan rohani dan kekuatan Ilahi acapkali dikesempingkan karena kita menTuhankan tujuan. Menyembah kekuatan pikiran, kecerdasan, jaringan, promosi dan strategi. Kita meninggalkan pokok fundamental kehidupan sehingga life is in your hand berkembang biak dengan cepat dan menjalar ke urat saraf pikiran. 

Agaknya, Edi AH Iyubenu berhasil mengajak pembaca untuk merenungi banyak hal, sekaligus menampar kita yang acapkali salah kaprah memaknai kehidupan. Kendati begitu, buku ini jauh dari hingar-bingar kalimat berat layaknya karangan sufi terkemuka. Misal, Fihi Ma Fihi karya Maulana Rumi atau Rahasia Basmalah karya Imam Khomeini. Justru penulis menyampaikan dengan bahasa jenaka, renyah dan lincah.

Barangkali terkesan berlebihan jika saya menganggap buku ini sebagai buku sufi. Karena isinya banyak berangkat dari pengalaman penulis yang kemudian direnungkan lalu dikembalikan pada Qur’an. Namun, menempatkan buku ini sebagai kumpulan cerita, sangat tak elok dan mengundang lelucon di dunia literasi. Sebab, buku ini sarat makna tanpa kesan menggurui karena penulis memang tidak bermaksud menggurui.

Buku setebal 232 halaman ini memiliki banyak renungan yang amat dalam.  Sekiranya Anda ingin menemukan Qur’an dalam kehidupan, dan ingin menemukan kehidupan dalam Qur’an, tak ada salahnya menambah buku ini sebagai bahan bacaan Anda di waktu yang serba tergesa-gesa. Mengingat, kita tengah berada di zaman yang menuntut kita saling berlomba cepat-cepat.

Nurillah A.