Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Hendra Fokker
Ilustrasi Monumen Plataran (Doc/fokker1945)

Kisah ini berawal dari aksi sporadis militer Belanda di sekitar Yogyakarta yang hendak menyerang segala bentuk kekuatan militer tentara Indonesia. Dari aksi yang dilancarkan pada tanggal 22 Februari di desa Sambiroto, pasukan Belanda menemukan buku catatan dari pejuang yang gugur dalam peristiwa tersebut. Berbekal buku catatan itulah, kemudian pasukan Belanda melancarkan serangan ke desa Plataran beberapa hari kemudian.

Pasukan Indonesia pada masa ini memang menjadi incaran militer Belanda. Mereka tidak terima dengan kekalahannya dari dukungan internasional terhadap upaya menguasai Indonesia kembali. Berbekal buku harian inilah, militer Belanda mendapatkan peluang besar untuk menghancurkan pasukan Indonesia di Plataran.

Singkat cerita, usai melakukan serangan pada pos Belanda di Bogem, para pejuang diperintahkan untuk memindahkan pusat kekuatan militernya. Namun, hal ini tidak terlaksana dengan baik, akibat kelelahan dalam pertempuran sebelumnya. Para pejuang justru kembali ke pos lamanya di Kaliwaru. Sedangkan, Kaliwaru sudah ditetapkan sebagai sasaran Belanda untuk membalas serangan dari para pejuang di Bogem.

Tak lama, posisi pasukan yang tengah beristirahat, dikejutkan dengan serangkaian tembakan dari arah barat daya. Pasukan patroli Belanda terlihat dengan perlengkapan tempur yang lengkap. Dari desa Gatak, pasukan Belanda terus menembaki pasukan pejuang yang tengah tercerai berai. Beberapa kelompok pejuang yang terpisah akhirnya sama-sama terdesak mundur ke desa Plataran.

Tanggal 24 Februari 1949, terjadilah kontak senjata yang sengit di desa Plataran. Saling balas serangan dan upaya pengepungan pasukan Belanda semakin membuat posisi pejuang semakin terdesak dari berbagai penjuru. Pasukan pejuang juga dihujani bom dari pesawat capung yang mengintai dari atas desa. Banyak di antara para pejuang yang telah gugur menjelang siang hari.

Mereka memburu pejuang sampai ke area persawahan yang menjadi area killing ground disana. Dalam buku karya Moehkardi, "Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949", dijelaskan bahwa seorang pejuang bernama Husein mengalami perlakuan keji ketika peristiwa itu berlangsung. Usai ditembak, jasad Husein dipenggal dan dirusak oleh para tentara Belanda.

Selain dari itu, seorang prajurit Tentara Pelajar bernama Marwoto juga gugur tak jauh dari lokasi gugurnya Husein. Kadet-kadet terbaik hasil didikan Akademi Militer Jogja banyak yang gugur dalam peristiwa ini. Sebaliknya, dalam pihak Belanda, peristiwa ini adalah keberuntungan dari dendam yang selama ini mereka pendam, ungkap Moehkardi.

Masyarakat Plataran sangat menghormati para pejuang yang gugur hingga kini. Tak ayal, setiap tanggal 24 Februari, masyarakat disini senantiasa mengadakan doa bersama untuk para pejuang yang gugur dalam peristiwa Plataran. Semoga peristiwa ini dapat selalu dikenang oleh generasi saat ini. Agar peristiwa Plataran tidak terlupakan, dengan semangat juang demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Hendra Fokker