Coba kalian bayangkan ada sebuah toko buku yang tak berada di jalanan ramai atau deretan pertokoan, melainkan muncul begitu saja. Di saat yang paling dibutuhkan, seolah muncul dari kehampaan, di antara waktu dan tempat yang tak pasti.
Inilah premis magis yang ditawarkan oleh The Vanishing Cherry Blossom Bookshop karya Takuya Asakura, sebuah novel yang begitu memikat lewat kehangatan narasi, namun tak luput dari titik-titik lemah di pertengahan.
Novel ini membawa kita melewati empat musim, masing-masing menyuguhkan satu kisah, satu pengunjung, dan satu luka lama yang perlahan diurai.
Ditemani oleh wangi kopi hangat dan atmosfer antik yang tenang, dua sosok pengelola toko, Sakura dan Kobako, menyambut siapa saja yang memasuki toko itu. Tapi, ini bukan sembarang toko buku.
Toko ini muncul di antara penyesalan yang tidak bisa diulang, dan masa kini yang harus tetap berjalan. Sejak awal, buku ini terasa seperti pelukan. Gaya penulisannya juga cukup puitis.
Ada nuansa realisme magis yang kental, sedikit mengingatkan pada Before the Coffee Gets Cold, namun dengan pendekatan yang lebih intim dan lembut.
Bedanya, novel ini berlatar tempat di toko buku, bukan kafe. Namun, toko buku ini bukan toko biasa, melainkan seperti memiliki kekuatannya sendiri. Ia dijaga oleh seorang kucing yang tampaknya memegang kendali di sana.
Cerita pertama membuka lembaran novel dengan cukup emosional. Seorang wanita yang ditinggal ibunya secara mendadak dihadapkan pada rasa bersalah, kenangan yang tak tuntas, dan hubungan yang rumit.
Di bagian akhir cerita ini, ada satu adegan yang begitu mengena, membuat beberapa pembaca mungkin nyaris terisak, dan siapa pun yang pernah kehilangan akan memahami perasaan itu.
Babak kedua menyoroti seorang pria berumur yang tengah menghadapi demensia. Cerita ini terasa jujur dan mengiris, tidak hanya dari sudut pandang orang yang mengalaminya, tetapi juga dari perspektif keluarga yang perlahan merasa kehilangan walau orang yang mereka cintai masih ada secara fisik.
Sebagai seseorang yang akrab dengan kondisi seperti ini, saya merasa kisah ini ditulis dengan empati yang luar biasa, dan jujur, saya harus berhenti membaca sejenak hanya untuk menenangkan diri.
Sayangnya, pesona itu sedikit luntur di kisah ketiga. Fokus cerita beralih ke saudara kembar yang terpaksa harus berpisah. Mereka memutuskan untuk membuka rahasia lama yang telah mereka simpan sejak kehilangan teman masa kecil mereka.
Walaupun topiknya masih sejalan dengan tema utama, cerita ini terasa kurang kuat dibandingkan dua bagian sebelumnya.
Bagian ini seolah memberi kesan bahwa toko buku ini tidak begitu berperan dalam menyelesaikan masalah tokohnya. Sehingga terasa kurang menyatu dengan bagian sebelumnya.
Selain itu, transisi waktu dalam novel ini terkadang membingungkan, membuat pembaca harus lebih jeli mengikuti perubahan antar adegan.
Elemen fantasi yang menyatu dengan kenyataan terkadang membuat kita bertanya ini sedang terjadi sekarang atau hanya memori yang dibangkitkan oleh kekuatan misterius toko tersebut?
Namun, di sisi lain, justru itu yang membuat buku ini terasa berbeda dan unik, meski butuh konsentrasi lebih saat membaca.
Secara keseluruhan, The Vanishing Cherry Blossom Bookshop adalah novel yang penuh kehangatan dan kedalaman emosional. Ia mengajak kita merenungkan luka yang belum sembuh, kata-kata yang tak sempat terucap, dan kesempatan kedua yang kadang datang dalam bentuk yang paling tak kita duga.
Untuk pecinta kisah kehidupan yang kontemplatif dengan sentuhan magis, buku ini bisa jadi teman yang menghibur sekaligus menyembuhkan.
Baca Juga
-
Belajar Self-Love dari Buku Korea 'Aku Nggak Baper, Kamu Yang Lebay'
-
Novel Stranger, Kisah Emosional Anak dan Ayah dari Dunia Kriminal
-
Potret Kekerasan Ibu-Anak dalam Novel 'Bunda, Aku Nggak Suka Dipukul'
-
Novel The Prodigy: Menemukan Diri di Tengah Sistem Sekolah yang Rumit
-
The Killer Question: Ketika Kuis Pub Berubah Jadi Ajang Pembunuhan
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel April: Fallen, Sakura di Musim Semi dan Kasus Pembunuhan
-
Ulasan Novel A Midsummer's Equation:Pembunuhan di Balik Proyek Laut Dalam
-
Ulasan Novel The Princes Escape: Terkadang Kuat Tak Harus Berdiri Tegak
-
Ulasan Novel Before We Say Goodbye: Ketika Perpisahan Tak Selalu Butuh Kata
-
Eks Pemain AC Milan: Sandy Walsh Bisa Jadi Contoh Pemain Indonesia ke Liga Jepang
Ulasan
-
Ulasan Drama City of Romance: Rahasia dan Perlindungan dalam Kebohongan
-
Ulasan Novel Dirty Little Secret, Perjuangan Penebusan Cinta dari Masa Lalu
-
Review Film Air Mata Mualaf: Perjalanan Iman yang Mengiris Hati
-
Review Film In Your Dreams: Serunya Petualangan Ajaib Menyusuri Alam Mimpi
-
Review Film Riba: Teror Riba yang Merenggut Nyawa Keluarga!
Terkini
-
Dari Ferry Irwandi hingga Praz Teguh: Deretan Figur Publik yang Turun Tangan Bantu Korban Bencana
-
Dituding Bela Inara Rusli, Ini Tanggapan dr. Richard Soal Komentar Julid Netizen!
-
Iko Uwais Debut Sutradara: Tantang Stereotipe Orang Timur Lewat Film Timur
-
Antusiasme Tinggi Warnai Premiere Film Esok Tanpa Ibu di JAFF 2025
-
Generasi 'Lemah' atau Generasi Sadar Batas? Wajah Baru Dunia Kerja