Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Cinta dalam 99 Nama-Mu (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Cinta dalam 99 Nama-Mu adalah buku kelima puluh lima Asma Nadia. Dua tokoh utamanya, Alif dan Arum, sama-sama hidup dalam ketidaknyamanan, kendati berasal dari keluarga kaya

Alif, pemuda urakan, sehari-hari akrab dengan minuman beralkohol. Kegiatan sehari-hari, selain mengurusi bisnis lahan parkir dan rumah kontrakan di banyak tempat, dia gemar menggambar mural di tembok-tembok ruang publik. 

Kematian ibu, satu-satunya sosok yang dia hormati, disusul ayah, yang tak pernah akrab dengannya, membuat hidup Alif semakin diberangus sepi. Puncaknya, dia difitnah memalsukan surat tanah dan melakukan tindakan kriminal lain, oleh kerabatnya sendiri. Alif terpaksa harus menghuni balik jeruji besi.

Arum, gadis ringkih yang didera penyakit ganas tak berkesudahan; kanker tulang, kanker payudara, dan sebagainya. Kondisi kesehatan anak semata wayang tak membuat ayah-ibunya akur. 

Ibunya seorang dokter bergaya hidup mewah selalu mendominasi kemudi rumah tangga, acap cekcok lantaran ayah Arum dianggap tidak gesit mengambil peluang jabatan sebagai kepala lembaga pemasyarakatan. 

Alih-alih mendukung suami yang berusaha menjadi pejabat bersih, ibu Arum cenderung menekan pasangan untuk tidak ragu-ragu korupsi.

Ketidakharmonisan orang tua, membuat rangkaian operasi, kemoterapi, radiasi, dan konsumsi obat-obatan yang dijalani Arum, kian menjerembabkan dalam sunyi. 

Beruntung, Arum menemukan jalan keluar dari rasa tidak nyaman tersebut. Dia mengumpulkan dan mengasuh anak-anak jalanan di rumah kontrakan yang disewa tanpa restu orang tua.

Alif dan Arum, kemudian saling bertemu dalam tiga kondisi atau keadaan. Pertama, ketika Alif sedang bengal-bengalnya dan berupaya berlaku kurang ajar kepada Arum, sewaktu berada di mall.

Kedua, ketika Alif berada dalam masa transisi, manakala menempati lembaga pemasyarakatan. Waktu itu, Arum intens mendatangi tempat tersebut guna menjumpai ayah sekaligus menggelar kegiatan sosial-keagamaan di sana.

Dalam pertemuan tidak sengaja itu, baik Arum maupun Alif, tidak melupakan satu sama lain. Arum menyimpan kesal akan kelakuan Alif di masa sebelumnya. Alif menyimpan rasa menyesal tak sudah-sudah, mengingati kelakukan kurang ajarnya kepada Arum.

Ketiga, selepas Alif dari lembaga pemasyarakatan. Pemuda itu sengaja mendatangi rumah kontrakan Arum. Dia berharap bisa menebus, sekurang-kurangnya menetralisasi perasaan dengan cara turut mengasuh anak-anak jalanan.

Tentu bukan perkara mudah, sebab Arum tidak menerima Alif dengan tangan terbuka. Padahal, waktu itu, Alif sudah bertobat dan terus berusaha memperbaiki diri.

Sementara itu, orang-orang yang menyimpan bara dendam terhadap Alif lantaran persoalan rebutan lahan parkir, di masa sebelumnya, berusaha membalas dengan cara yang tidak dibayangkan sang pemuda.

Sedang Arum, penyakit-penyakit baru, datang menghampiri, membuat optimismenya timbul-tenggelam. Disusul satu peristiwa lain yang mengancam nyawanya.

Membaca novel ini, pembaca akan diajak menyusuri metamorfosis kepribadian Alif dan Arum. Keduanya sosok yang jauh dari pribadi sempurna, namun perjalanan waktu menyadarkan masing-masing, dengan cara berbeda, betapa liukan kehidupan akan senantiasa terkawal ikhlas dan rida Sang Kuasa jika kita menyandarkan harap dan pinta semata kepada-Nya.

Yang menyenangkan sekaligus mencerahkan, sama seperti buku Asma Nadia lainnya, buku ini pun mengandung muatan kalimat-kalimat quotable. Sebut sebagai contoh,

“Doa adalah jalan yang bisa kita tempuh agar tetap bisa bersilaturahim dengan orang-orang yang tak lagi bisa kita sapa.” (halaman 102).

“Niat jika tidak diwujudkan, tidak membawamu ke mana-mana. Sekecil apa pun aksi itu lebih penting ketimbang bicara bagaimana pun riuhnya.” (halaman 131).

“Setiap orang melewati cara yang berbeda untuk tiba pada titik terbaik dalam hidupnya sebagai manusia, jadi bersikaplah bijaksana.” (halaman 152).

Sungguh, Cinta dalam 99 Nama-Mu, adalah jenis bacaan yang mampu mendongkrak keyakinan akan kemahaan Allah, betapa kecil dan tidak berdayanya manusia di hadapan-Nya, dan semua ikhtiar menjadi mungkin hanya karena cinta-Nya semata.

Thomas Utomo