Mungkin banyak yang bertanya: kenapa Yogyakarta menyandang status daerah istimewa? Sebagai salah satu provinsi di Indonesia, kenapa Yogyakarta dapat menyandang status keistimewaan sedangkan hal serupa tidak berlaku bagi provinsi-provinsi lain? Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo dalam buku Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya: Merunut Sejarah, Mencermati Perubahan, Menggagas Masa Depan (Pustaka Pelajar, 2010) ini akan membeberkan fakta-fakta historis terkait status keistimewaan Jogja.
Bermula dari berdirinya kerajaan Mataram Islam yang merupakan kerajaan monumental bagi masyarakat Yogya. Mataram Islam mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo. Saat itu wilayah yang berada di bawah panji Mataram Islam sangat luas. Namun, penetrasi Belanda dengan siasatnya, dapat memerosotkan kekuatan Mataram Islam. Salah satu sebabnya karena pengganti Sultan Agung, yaitu Hamangkurat I, lebih pro dan bersahabat dengan VOC. Pada periode berikutnya, yakni Hamangkurat III, lebih menentang VOC. Namun, Mataram Islam tetap merosot. Akhirnya, pada masa pemerintahan Paku Buwono II Mataram Islam menyerah kepada Belanda karena banyaknya wilayah yang dicaplok Belanda.
Akan tetapi, Pangeran Mangku Bumi tidak merelakannya. Pada 19 Mei 1746, Pangeran Mangku Bumi bersama pangeran-pangeran lainnya melakukan penyerangan dan mendesak Belanda. Akhirnya, dibuatlah perjanjian Giyanti yang merupakan titik awal berdirinya kerajaan Kasultanan Yogyakarta dengan sistem pemerintahan sendiri (“susunan asli”).
Pada saat penjajahan Jepang, sistem pemerintahan Yogyakarta goyang. Sebab Jepang memunculkan peran “pepatih dalem” (somutyokan) yang bertugas menjalankan pemerintahan sehari–hari Kasultanan, sehingga yang mempersempit ruang gerak Sultan. Namun, Sultan Hamengku Buwono IX mensiasatinya dengan membentuk jawatan-jawatan yang disebut Paniradya. Selanjutnya, Kasultanan Yogya mengadakan reorganisasi yang berisi kabupaten kota dibagi menjadi beberapa kemantren yang masing-masing dipimpin oleh mantri pangreh praja.
Dengan telah memiliki sistem pemerintahan sendiri (susunan asli), Yogya sebenarnya mampu menjadi Negara sendiri. Ketika RI memproklamirkan kemerdekaannya, penjajah menawarkan wilayah kepada Sultan Hamengku Buwono IX. Namun, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sudah bertekad bulat untuk bergabung dengan RI. Sebelum bergabung, diadakan terlebih dahulu proses reunifikasi antara Kasultanan dan Pakualaman yang menjadikan Yogya sebagai satu (sebuah) kerajaan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai dwitunggal pemimpinnya. Keputusan untuk bergabung tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan memberikan sebuah “piagam kedudukan”.
Dalam rangka menjalankan pemerintahan dan sehubungan dengan bergabungnya Yogyakarta dengan RI, Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII secara sendiri–sendiri mengeluarkan Amanat pada 5 September 1945 (halaman 23).
Pada tahapan berikutnya, Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII merasa perlu untuk membuat Amanat baru yang menegaskan bahwa hanya ada satu DIY. Oleh karena itu, dibuatlah Amanat 30 Oktober 1945. Yang hanya ditandatangani berdua oleh Sri Sultan HB IX dan Sri PA VIII (halaman 25).
Sehubungan dengan piagam kedudukan yang diberikan oleh Presiden RI, segenap pegawai Kasultanan dan abdi dalem Pakualaman menyatakan komitmen dan secara nyata berjuang untuk mendukung kemerdekaan RI. Jadi, secara de jure, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) baru ada setelah keluar UU No. 3 Tahun 1950 (UU tentang Pembentukan DIY). Namun secara de facto, nama DIY sudah muncul sejak 1945, dan dipakai secara riil efektif sejak dikeluarkannya Maklumat No. 18 Tahun 1946.
Dengan sedikit gambaran di atas, dapatlah kita ketahui bahwa Yogya benar-benar telah mempunyai “susunan asli”. Status keistimewaan Yogya merupakan politik sadar dan bukan pemberian substansi politik nasional. Jadi pantaslah jika Yogya dikatakan sebagai daerah istimewa.
Baca Juga
-
Ulasan Buku Gus Gerr: Guru Bangsa Paripurna
-
Bali dalam Gerusan Globalisasi, Ulasan Buku Ajeg Bali
-
Ulasan Novel Yang Miskin Dilarang Maling: Nestapa Seorang Pencuri Ayam
-
Sisi Tragis Kehidupan Ibnu Sina, Ulasan Buku Benteng Lapis Tujuh
-
Disebut Pohon Ajaib, Ini Keunggulan Daun Kelor Dibandingkan Sayuran Lain
Artikel Terkait
-
Asal Usul Budaya Carok, Tewaskan Seorang Saksi di Pilkada Madura
-
Arjuna Apartment Dukung Ngayogjazz, Sinergikan Budaya Lokal dan Modernitas
-
Bukan KH Ahmad Dahlan, Ini Sosok Kiai Pemberi Nama Muhammadiyah
-
Misteri Setir Kanan pada Mobil, Warisan Sejarah yang Masih Bertahan di Indonesia
-
Sri Sultan HB X Bicara Soal Sengketa Tanah Kasultanan dengan PT KAI: Status HGB Dipersoalkan
Ulasan
-
Review Anime Ramen Akaneko: Pelajaran Dunia Kerja dari Toko Ramen yang Dikelola Kucing
-
Ulasan Buku 'Bukan Dunia yang Keras, Mungkin Kita lah yang Terlalu Lunak'
-
Warung Ayam Mekik, Destinasi Kuliner Klasik di Kota Jambi
-
Ulasan Buku Berani Bahagia, Raih Kebahagiaan Lewat Nalar Psikologi Sosial
-
Cafe Layri: Pesona Bali dan Rasa Nusantara di Kota Jambi
Terkini
-
Rekor Tak Pernah Menang, Bagaimana Peluang Indonesia Taklukkan Arab Saudi?
-
Selamat! Ailee dan Choi Si Hun Umumkan Tanggal Pernikahan
-
Dear STY, Jangan Lakukan Eksperimen Jika Ingin Menang Lawan Arab Saudi
-
Terungkap! Ini Alasan Timnas Indonesia Terus Main di GBK Meski Kondisinya Buruk
-
Moon Ga Young Konfirmasi Bintangi Drama Baru Bersama Lee Jong Suk