Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rohman Abdullah
Sisi Tragis Kehidupan Ibnu Sina.[dokumen pribadi]

Ibnu Sina adalah ilmuwan mengagumkan dalam sejarah Islam abad pertengahan. Mempunyai nama lengkap Abu Ali Husain bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, dia menguasai ilmu kedokteran sekaligus filsafat dengan menakjubkan. Di bidang filsafat, Ibnu Sina menulis kitab Al-Shifa (Penyembuhan) yang menjadi ensiklopedia filsafat. Kitab ini berhasil mempersatukan tradisi Aristotelian, pengaruh neoplatonik, dan teologi Islam.

Sedangkan di lingkup kedokteran, Ibnu Sina menulis magnum opus berjudul Qanun fi al-Tibb yang membuat dia mendapat jejuluk "Father of Doctor". Kitab ini begitu tersohor dan menjadi rujukan otentik dalam dunia kedokteran. Di dalamnya memuat risalah pengobatan sekaligus kontribusi orisinal Ibnu Sina, seperti mengenali muasal terjadinya penyakit menular hingga menjabarkan anatomi mata berikut perangkat sistem optiknya. Tak salah jika kitab ini kemudian disebut sebagai "kitab suci kedokteran".

Melalui kitab-kitab "raksasa" tersebut, nama Ibnu Sina menjadi masyhur baik di dunia Timur dan Barat, hingga mungkin banyak orang yang kurang mengetahui bahwa di balik popularitasnya tersebut, Ibnu Sina menyimpan satu sisi kehidupan yang getir. Novel-Biografi Ibnu Sina: Tawanan Benteng Lapis Tujuh (Zaman, 2011) tulisan Husayn Fattahi ini mencoba mengungkap sisi tragis di balik popularitas nama Ibnu Sina.

Saat usianya memasuki 17 tahun, Ibnu Sina berhasil mengobati penyakit yang mendera Nuh Ibnu Mansur, seorang raja di Bukhara. Hampir mirip dongeng, saat itu semua tabib terkenal yang diundang ke istana angkat tangan tak bisa menyembuhkan, kecuali Ibnu Sina. Keberhasilan Ibnu Sina tersebut mendorong Raja untuk mengangkat Ibnu Sina menjadi dokter pribadi. Hanya saja, posisi Ibnu Sina tersebut justru mengantarkan Ibnu Sina terjerembab dalam lingkungan istana yang membuat Ibnu Sina terjebak dalam lumpur intrik politik istana.

Keberhasilan dan posisi Ibnu Sina membuat dokter-dokter lain menaruh dengki. Dokter-dokter yang dengki tersebut kemudian bersekongkol dengan pihak oposisi kerajaan untuk menyingkirkan Ibnu Sina dari posisi yang telah dirauhnya.. Maka ketika Nuh Ibnu Mansur telah wafat, Ibnu Sina dijadikan musuh bersama. Mirisnya lagi, penguasa Bukhara yang baru, Mahmud Ghaznawi, sampai-sampai menjanjikan imbalan menggiurkan berupa 5.000 keping emas bagi siapa saja yang sanggup menangkapnya. 

Karena merasa hidupnya dalam ancaman, Ibnu Sina harus melarikan diri menuju tempat yang dirasa aman. Namun naas, pelarian itu ternyata membawanya ke pelbagai tempat yang juga menghadirkan bahaya serupa. 

Misalnya saat ia berhasil menjabat menteri di  Hamadan. Posisi ini adalah hadiah ia berhasil menyembuhkan Raja Hamadan, Shams al-Daulah, dari penyakit perut kronis. Di saat menjadi menteri, Ibnu Sina membuat berbagai kebijakan yang acapkali tidak umum dalam pandangan  elite kekuasaan.

Singkat kisah, Ibnu Sina diberhentikan dari jabatan menteri dan dimasukkan ke penjara benteng Fardajan. Ibnu Sina mendapat kado politik yang berbau sengak, dari yang semula ilmuwan yang menjadi menteri, menjadi tahanan.

Ibnu Sina akhirnya mengalami semacam kelelahan mental hebat, dan setelah kembali ke Hamadan, Ibnu Sina meninggal pada 1037 Masehi.

Rohman Abdullah