Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
Perempuan di Titik Nol (Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo)

"... profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang isteri. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih menyukai menjadi pelacur yang bebas daripada isteri yang diperbudak." (halaman 133).

Perempuan di Titik Nol merupakan karyatama Nawal el Saadawi. Awalnya ditulis dalam bahasa Arab. Namun, disensor di Mesir, negeri asal karya ini lahir, dan ditolak beredar di Saudi Arabia. Akan tetapi, ketika diterjemahkan ke bahasa Inggris, justru merebut perhatian khalayak.

Perempuan di Titik Nol menceritakan liku-liku kehidupan Firdaus, perempuan muda yang menjadi pelacur kelas atas di Kairo, Mesir. Mula-mula, Firdaus dibesarkan di keluarga miskin buta huruf. Sejak kecil, dia mendapatkan ragam diskriminasi hanya karena jenis kelaminnya perempuan.

Ketika tinggal bersama pamannya yang termasuk golongan terpelajar, dia kembali bertubi memperoleh diskriminasi serupa. Istri paman malahan membenarkan diskriminasi terhadap perempuan, di antaranya memukuli perempuan yang dianggap membangkang suami, dengan keyakinan memang sudah mestinya seperti itu. "Agama" membenarkan perbuatan tersebut.

Firdaus semakin lama semakin kritis mendapati diskriminasi terhadap kaum wanita. Untuk itu, dia gigih belajar, dengan pikiran, pendidikan tinggi akan mengubah nasib kaumnya. Kenyataannya, dia mendapat banyak rintangan guna menggapai keinginan tersebut.

Firdaus sampai kepada kesimpulan, bahwa perempuan dipandang laki-laki tak ubahnya segumpal daging untuk dinikmati dan diperbudak. Untuk itu, tidak dibutuhkan kecerdasan.

Demikianlah. Firdaus dijerumuskan oleh lingkungannya, menjadi pelacur. Dengan kegigihan dan kekeraskepalaan, Firdaus melejit menjadi pelacur kelas atas. Pelanggannya adalah politikus, diplomat, dan orang-orang berkuasa. 

Hingga suatu ketika, datang laki-laki yang mengambil kuasa Firdaus atas dirinya sendiri. Dia mendaulat dirinya menjadi germo Firdaus. 

Firdaus marah dan membunuh pria itu. Dia dijebloskan ke penjara dengan hukuman mati. Dokter penjara membujuk Firdaus mengajukan grasi kepada presiden, yang langsung ditolak mentah-mentah perempuan itu. 

Melalui novel ini, Nawal el Saadawi mencoba membuka pikiran pembaca akan kepincangan dan ketidakadilan dalam dunia patriarki. Saadawi mengajak pembaca untuk memikirkan dengan serius berbagai kezaliman yang masih menimpa perempuan di belahan dunia manapun akibat dominasi dan ketidakpedulian laki-laki.

Thomas Utomo