Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Thomas Utomo
Potret Jurai.[Dokumentasi pribadi/ Thomas Utomo]

Jurai adalah novel perdana karya Guntur Alam, cerpenis muda yang dikenal konsisten mengusung lokalitas Sumatra Selatan dalam tulisan-tulisannya.

Novel terbitan Gramedia Pustaka Utama setebal 300 halaman ini menceritakan derita keluarga Marianton sepeninggal kepala keluarga karena kecelakaan. Keluarga Marianton sendiri bukan termasuk keluarga berada. Pekerjaan sang kepala keluarga adalah penyadap karet. Anaknya empat, tiga perempuan, bungsu laki-laki.

Dari sudut pandang bocah laki-laki bernama Catuk-lah cerita bergulir. Dia tengah menduduki bangku kelas lima SD. sebagai satu-satunya bujang di limas atau rumah, dia diharapkan menjadi pengganti ayah atau yang dipanggil Ebak.

Persoalan pelik dimuat dari ritual selamatan kematian Ebak. Dari mana uangnya? Harus dikeluarkan siapa biayanya? Karena hanya Ebak semata di limas mereka yang bekerja. Itu pun dengan penghasilan tak seberapa.

"Sebab, aku sudah kebingungan sendiri. Dari mana nantinya biaya untuk acara tahlilan tujuh hari tujuh malamnya Ebak? Mulai malam ini sampai tujuh malam ke depan, limas kami akan ramai selepas isya. Laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa akan bertahlil mendoakan Ebak.

"Tentu saja sebagai ahli rumah, kami harus menyediakan jamuan. Di malam pertama sampai keenam, jamuan hanya ala kadarnya saja: bolu basah dan kue-kue serra makan besar seperti lontong, lakseberugo, atau ketan yang di atasnya ditaburi kelapa goreng.

"Malam ketujuh yang memerlukan dana paling besar. Karena malam itu, orang-orang akan sembahyang Magrib di rumah dan bertahlil untuk terakhir kalinya selama sepekan. Para tamu harus dijamu dengan makan layaknya hajatan orang menikah: nadi, lauk dari ayam, dan lainnya. Ah, adakah Emak uang untuk itu? Aku menghela napas dalam-dalam." (halaman 22-23).

Petaka tidak berakhir sampai di situ. Belum lama, Ebak dikuburkan, datang perempuan dari luar kota, membawa anak. Perempuan itu mengaku sebagai istri kedua Ebak.

Berita tersebut menggemparkan, tidak saja limas keluarga Catuk tetapi menyebar hingga tetangga-tetangga.

Perempuan itu menjelaskan, pernikahan kedua berlangsung atas persetujuan istri pertama, tidak lain adalah Emak sendiri.

Waktu itu, Ebak menyodorkan surat persetujuan istri pertama untuk pernikahan kedua. Emak yang buta huruf mau saja memberikan cap jari, sehingga memuluskan jalan Ebak menikah lagi.

Dari situ, Emak bertekad: keempat anaknya tidak boleh bodoh macam dirinya sehingga tidak akan mudah dibodohi. Mereka harus berpendidikan. 

Tekad tersebut membakar semangat Emak. Bahkan akhirnya mereka berlima nekat merantau untuk mengubah nasib. Tekad yang menuai cibir dan kutuk masyarakat karena dinilai tak elok perempuan merantau. 

Novel ini berakhir menggantung. Bagaimana kelanjutan nasib Catuk, ketiga kakaknya, serta Emak, masih ditunggu? Mungkinkah pengarang akan melanjutkan kisah mereka?

Thomas Utomo