Cikuya 15730 adalah novel perdana Sungging Raga. Raga sendiri selama ini lebih dikenal sebagai pengarang beraliran post modern yang kerap menganggit cerita berlatar tempat kereta api atau stasiun.
Menurut pengakuan Raga, sebagaimana status di akun Facebook pribadinya, Cikuya 15730 adalah karya yang digodok layaknya tahu bulat digoreng dadakan. Maksudnya, novel ini dikonsep dan dieksekusi dalan waktu amat terbatas. Hanya kurang dari sepekan lantaran jelang penutupan lomba.
Raga rela lembur untuk mengebut pengerjaan novel ini. Setelah kelar, giliran istrinya yang mengedit dan mengurus cetak, jilid, dan mengirim ke panitia Sayembara Novel Basabasi 2019.
Tak disangka, novel ini masuk dalam jajaran pemenang. Dan sama seperti kisah-kisah fiksi karya Raga lainnya, Cikuya 15730 adalah untaian kisah nirhikmah. Cerita di dalamnya hampir tidak mengandung pelajaran, kalau tidak boleh disebut tanpa pesan moral sama sekali.
Adalah Mulbul, seorang pemuda kurang akal. Dia tinggal bertiga bersama dua kakaknya, laki-laki, di sebuah rumah reot nyaris ambruk, di Desa Cikuya, Jawa Barat. Seperti kebanyakan warga desa, Mulbul juga didera kemelaratan sedari generasi sebelumnya. Dia menderita sejak kali pertama hidup dan terus menghadapi penderitaan hingga menutup usia.
Bapaknya, Turobi, hilang di area sungai. Konon, tenggelam. Ibunya, Neng Sampyuh, meninggal terlindas kereta api. Hasek dan Hamsun, dua kakak kembar, terpaksa membesarkan Mulbul sembari rutin memukulinya tiap hari.
Mulbul akhirnya tumbuh besar sambil terus menyunggi kepalanya yang kurang waras. Pekerjaan sehari-harinya berkeliling desa, mengambil barang apa saja yang menarik perhatiannya.
Sampai suatu hari, seorang pelacur Gunung Megang, bernama Nalea, bosan menjual diri. Padahal dia adalah pelacur paling populer. Harga jualnya paling tinggi. Tiap malam, pria hidung belang, berderet-deret mengantre, hendak menggunakan jasa tubuhnya.
Nalea memutuskan menikahi Mulbul. Mulbul yang kurang waras, mau saja menikah dengan perempuan jelita itu.
Tentu saja pernikahan tersebut menggemparkan seisi kampung. Muncikari Gunung Megang pun berang. Pesona apa yang dimiliki Mulbul sampai Nalea mau menikah dengannya? Tampan jelas tidak! Kaya apalagi, tentu tidak! Otak waras pun tidak punya.
Novel ditutup dengan adegan muram. Tak lain, kematian Mulbul. Di atas nisannya, tertulis, "Tuhan tidak menciptakan penderitaan sampai Dia menciptakan manusia." (Cikuya 15730, halaman 5, 155).
Novel Cikuya 15730 dikemudikan dengan cara bertutur yang unik, lucu, satir. Khas Sungging Raga. Namun seperti sudah dikemukakan di muka, jangan harap menemukan hikmah di dalamnya.
Baca Juga
-
Pelajaran Tekad dari Buku Cerita Anak 'Pippi Gadis Kecil dari Tepi Rel Kereta Api'
-
Cerita-Cerita yang Menghangatkan Hati dalam 'Kado untuk Ayah'
-
Suka Duka Hidup di Masa Pandemi Covid-19, Ulasan Novel 'Khofidah Bukan Covid'
-
Akulturasi Budaya Islam, Jawa, dan Hindu dalam Misteri Hilangnya Luwur Sunan
-
Pelajaran Cinta dan Iman di Negeri Tirai Bambu dalam "Lost in Ningxia"
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review Film Princess Mononoke: Mahakarya Studio Ghibli yang Abadi
-
Review Buku Filosofi Teras: Ajaran Kuno Stoa yang Masih Relevan di Hari Ini
-
Review Film Pools: Pesta, Duka, dan Kenangan yang Tertinggal di Dasar Kolam
-
Review Film My Beloved Stranger: Kisah Penyesalan yang Mendalam
-
Ulasan Novel Mrs Spy: Perempuan Biasa dengan Misi Mematikan
Terkini
-
Anti Repot, Tetap Cantik! Ini 4 OOTD Feminin Simpel ala Belle KISS OF LIFE
-
Dari Mimbar Megah hingga Meme: Mengurai Paradoks Kritik di Indonesia
-
Batal Lawan Kuwait, Timnas Indonesia Bisa Dapatkan 2 Keuntungan Jika Ajak Vietnam Beruji Tanding
-
Menendang Stereotip: Futsal Perempuan Mengubah Persepsi
-
Kembali Diterpa Rumor, Jimin BTS Disebut Berkencan dengan Song Da-eun