"Aku telah terbiasa untuk lupa bahwa aku perempuan"
Novel ini bercerita tentang kisah seorang perempuan yang memiliki ambisi sangat besar. Karena ambisi itu pula ia bahkan lupa bahwa sejatinya ia adalah seorang perempuan. Bagaimana tidak. Ia mengorbankan segalanya. Cinta dan keluarganya telah ia kesampingkan demi sebuah ambisi menjadi seseorang yang selalu menjadi bintang dimanapun tempatnya.
Ia telah menjadi seorang politisi perempuan, kiprahnya di parlemen dan berbagai organisasi pergerakan terbilang sukses hingga menempatkan dirinya dalam lingkaran elite kekuasaan. Dibalut dengan latar belakang politik yang masih konservatif, telah menempatkan dirinya sebagai fenomena baru dalam kesetaraan gender. Namun, pencapaian itu bukanlah akhir. Ia selalu ingin mempertahankan posisi menjadi bintang tokoh tersebut.
Usahanya menggapai ambisi tersebut telah mengantarkannya pada sebuah kehampaan yang menyelimuti kehidupan pribadinya. Masalah demi masalah selalu datang silih berganti. Pernikahannya selalu gagal. Bahkan anak semata wayang yang ia anggap sebagai harta paling berharga justru lebih akrab dengan sang ibu tiri. Kebahagiaannya seolah dibuat-buat untuk menutupi kesepian yang mendera.
Suatu ketika, ia memutuskan lari dari kehidupan pribadinya, bahkan lari dari tabiatnya sebagai perempuan. Ia memiliki pendirian yang sangat teguh, hingga yakin akan konsekuensi yang dijalaninya sejak ia masih muda. Ia sangat memperjuangkan konsep kesetaraan gender. Dimana sebagai seorang perempuan punya hak untuk menjadi seorang wanita karir dan memperjuangkan mimpi. Namun tanpa sadar ia terlewat batas akan hal itu.
Dari kisah ini ada satu hal yang paling esensial menurut saya yaitu tentang hubungan antara ambisi dan bahagia. Tokoh perempuan dalam novel ini menganggap bahwa ambisinya mampu mengantarkannya pada sebuah kebahagiaan. Namun pada kenyataannya tidak. Dan sebetulnya ia sendiri tau letak kebahagiaannya ada dimana. Seperti dalam penggalan berikut, "Kebahagiaanku adalah menikmati keberadaanku disisinya di sepanjang jalan-jalan yang kami lalui dan berputar-putar mengelilingi toko dan swalayan." (halaman 71)
Tetapi lagi-lagi ia tepis demi sebuah ambisi.
Inilah novel luar biasa tentang pergulatan karier, ambisi, dan cinta dari seorang perempuan. Kaya akan muatan filsafat tetapi dikemas dalam bahasa sederhana dan mengesankan. Tuntutan kesetaraan gender yang dirajut dalam pertentangan batin seorang perempuan, menjadikan novel ini bukan sekedar bacaan yang menginspirasi tetapi sekaligus menjadi contoh bagi para perempuan untuk lebih selektif dalam menyeimbangkan antara karir dan dirinya sebagai perempuan.
Baca Juga
-
Ulasan Buku The Second Chance: Pengelolaan Sumber Daya untuk Masa Depan
-
Sebuah Seni untuk Memahami Kekasih: Romantisme Sejoli yang Penuh Kelucuan
-
Secuil Cerita Menyambut Satu Dekade Suara.com
-
Ulasan Buku 'Born To Be Success': Cara Mudah Meraih Sukses
-
Hapus Ketidakadilan Berbasis Gender, Pahami Feminisme Lewat Buku 'Menggugat Feminisme'
Artikel Terkait
Ulasan
-
Review The Long Walk: Film Distopia yang Brutal, Suram, dan Emosional
-
Menyikapi Gambaran Orientasi Seksualitas di Ruang Religius dalam Film Wahyu
-
Review Film Janji Senja: Perjuangan Gadis Desa Jadi Prajurit TNI!
-
Review Film Dilanjutkan Salah, Disudahi Perih: Drama Romansa Penuh Dilema
-
Ulasan Novel Take Me for Granted: Menemukan Rasa Bahagia di Antara Luka
Terkini
-
Di Balik Trending Topic: Standar Ganda dalam Cerita Perceraian Tasya Farasya
-
Komunitas Seni sebagai Terapi Kota: Ketika Musik Menjadi Ruang Kelegaan
-
Resmi Menikah! Selena Gomez dan Benny Blanco Gelar Pesta Bertabur Bintang
-
Sekolah Membunuh Rasa, Lalu Apa Kabar Kreativitas Kita?
-
Real atau AI? Foto Pratama Arhan dan Putri Azzralea Ramai Dibahas Warganet