Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Untung Wahyudi
Novel Juru Kunci Makam (Dok. Pribadi/wahyudiuntung)

Setiap anak tentu mengharapkan lahir dari orangtua yang serba ada atau berkecukupan. Apa pun yang diinginkan anak akan terpenuhi, sehingga anak senang dengan apa yang diinginkannya.

Namun, tidak semua anak terlahir beruntung. Ada yang lahir dari keluarga yang berkecukupan, dan ada juga yang serbakekurangan. Ada yang lahir dari orangtua konglomerat, petani, hingga yang terlahir dari seorang ayah penggali kubur.

Juru Kunci Makam adalah novel anak karya Sinta Yudisia yang mengisahkan persahabatan antara anak-anak kaum marginal. Anak-anak yang tidak seberuntung teman-temannya yang lahir dengan serba berkecukupan.

Tokoh utama dalam novel anak ini adalah seorang remaja SMP bernama Unggul, yang lahir dari keluarga seorang penggali kubur. Meskipun begitu, Unggul tetap selalu bersemangat untuk sekolah, meskipun dengan segala keterbatasan.

Saat tugas kelompok mata pelajaran Biologi, beberapa teman Unggul menolak sekelompok dengannya karena Unggul dianggap selalu berpenampilan lusuh, susah bergaul dan berpenampilan biasa saja. Tidak seperti teman-temannya yang tampak sebagai anak berkecukupan.

Namun, tidak semua teman Unggul seperti itu. Beberapa temannya seperti Sofi dan Nadia, meskipun lahir dari keluarga serba berkecukupan, tidak suka menampilkan kemewahan atau tidak sombong. Mereka tetap mau berteman dengan teman-temannya yang serba kekurangan seperti Unggul.

Kehadiran novel ini menjadi pelajaran bagaimana agar anak tidak suka membeda-bedakan teman. Dalam bergaul, seharusnya anak-anak tetap menjadi pribadi yang rendah hati. Menghargai teman dan tidak mudah merendahkan orang lain yang nasibnya kurang beruntung.

Selama ini, Sinta Yudisia dikenal sebagai penulis yang serba bisa dan menulis berbagai genre. Selain novel dewasa, remaja, juga kerap menulis cerita anak, termasuk Juru Kunci Makam yang ada di tangan pembaca ini. Dengan penceritaan yang mengalir, pembaca anak-anak bisa menikmati alur novel ini dengan begitu mudah.

Novel ini sarat dengan pesan moral pendidikan yang bisa meningkatkan nilai-nilai toleransi agar anak-anak bisa menjadi pribadi yang senantiasa berakhlak mulia atau berbudi pekerti tinggi.

Meskipun tampilan sampul buku ini tampak suram dan agak horor, tetapi kisah-kisah di dalamnya tidak ada jalinan cerita yang menampilkan klenik yang menimbulkan ketakutan bagi pembaca.

Untung Wahyudi