Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Untung Wahyudi
Buku Berjalan Menembus Sepuluh Ribu Hijab (dok.pribadi / wahyudiuntung)

Ada banyak cara yang dilakukan orang untuk menemukan suatu hal yang bisa memuaskan batinnya. Salah satunya dengan cara melakukan perjalanan ke suatu tempat yang dapat menumbuhkan semangat dan kedamaian dalam menjalani hidup

Agustinus Wibowo, salah satu penulis perjalanan di Tanah Air, menuangkan setiap perjalanannya dalam buku Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol. Dalam buku tersebut, Agustinus mendedah secara detail setiap jalan yang ditapakinya di tanah Afghanistan dan Negara-negara lainnya. Eric Weiner juga melakukan hal yang sama. Dalam buku The Geography of Faith, Weiner mengisahkan pengalaman spiritualnya bergaul dengan para pemeluk agama Islam, Kristen, Buddha, dan lainnya.

Dalam buku Berjalan Menembus Sepuluh Ribu Hijab, Maryam Kabeer juga melakukan hal yang sama: menjelajah dan menempuh perjalanan untuk menemukan berbagai keajaiban dalam setiap langkah yang dijalaninya. Pengalaman Maryam dalam dalam buku ini menunjukkan bahwa, ia telah berusaha menembus berbagai makna spiritual di setiap perjalanan.

Dalam perjalanan perdananya di Afghanistan pada 1969, Maryam Kabeer merasakan betapa Negara tempat kelahiran Jalaluddin Rumi tersebut terdapat sebuah keajaiban-keajaiban yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. 

Selama ini, mendengar nama Afghanistan, mungkin semua orang akan terfokus pada kata “perang”. Ya, Afghanistan senantiasa identik dengan peperangan yang tak pernah bisa ditawar-tawar. Namun, dalam perjalanan dengan bis kuno, aerodinamis bis, justru Maryam menemukan nuansa lain dari bumi Afghanistan. Di antara deru debu yang membuat wajah kotor dan pandangan mengabur, Maryam menemukan sebuah spirit dari para penumpang yang ditemuinya.

Saat waktu shalat tiba, di tengah gurun berbatu bis berhenti. Semua penumpang keluar membentangkan tikar untuk melaksanakan shalat. Hal itu terjadi di setiap bis Afghanistan pada tiap waktu shalat tiba. Saat azan berkumandang dari salah satu menara di gurun itu, semua orang dalam bis akan turun, membentangkan tikar untuk shalat (hal. 46).

Maryam Kabeer begitu takjub dengan pemandangan tersebut. Ia menyatakan, tidak pernah melihat hal itu sebelumnya. Ia kagum dengan keindahan dan kedamaian yang tercipta, di luar konteks politik apa pun yang terjadi di Negara tersebut. Menurut Maryam, hal itu sebuah pemandangan tentang kedamaian dan ketakwaan yang di dalamnya manusia bersatu dalam cinta mereka untuk Sang Pencipta. Ke mana pun mereka pergi, kapan pun mereka berhenti di pertengahan perjalanan pada waktu yang telah ditentukan, turun dari bis untuk shalat.

Maryam Kabeer menyimpulkan, bahwa begitulah kedamaian yang seharusnya berembus dari agama yang senantiasa menciptakan kedamaian. Setiap pemeluk agama harus bisa menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang ramah dan cinta damai. Tidak seperti gambaran yang ditampilkan media, ketika melihat sekelompok manusia berkumpul untuk menunaikan shalat berjamaah secara Islam menyarankan semua orang harus takut. Tidak. Islam bukan seperti yang media gambarkan.

Lewat buku ini, Maryam Kabeer mengajak semua pembaca untuk lebih memaknai perjalanan spiritual yang siapa pun bisa mengalaminya. Tidak harus melakukan perjalanan jauh yang membutuhkan kekuatan fisik. Dengan menjelajahi alam di sekitar, bahkan dengan para penduduk yang memiliki tabiat, tradisi, dan budaya yang berbeda, kita juga bisa menemukan jalan spiritual untuk senantiasa lebih dekat dengan Sang Pencipta.

Semoga kehadiran buku ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi pembaca untuk lebih kuat berusaha untuk menemukan makna hidup dalam setiap perjalanan yang ditempuh. Sebagaimana Islam yang senantiasa mengajarkan perdamaian, sebagai umat manusia kita juga harus bisa menyebarkan cinta dan kasih agar tercipta kerukunan, kedamaian, dan menumbuhkan sikap toleransi yang tinggi.

Untung Wahyudi