Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Sofina Sehan
Buku "Beautiful Question For Success" (dokumen pribadi/Sofina Sehan)

Dalam hidup seringkali kita menanyakan banyak hal, tentang ini dan itu. Dari setiap pertanyaan yang ingin kita ketahui jawabannya, tidak banyak jawaban yang akan kita dapatkan. Terkadang, ada baiknya kita merenungkan kembali. Apakah pertanyaan-pertanyaan kita adalah suatu hal yang patut di pertanyakan? Atau mungkin, beberapa pertanyaan kita adalah sesuatu yang sudah jelas jawabannya!

Dalam buku "Beautiful Question For Success" karya Fitria Zelfis (NOTEBOOK, 2014) di jelaskan bahwa kita telah hidup dalam lingkaran kultural dan tradisi yang telah "di kontruksi" secara turun-temurun dalam masyarakat tentang sebuah standar sukses. [Halaman-11]

Kita seolah-olah telah "dirancang" untuk mengikuti seperangkat aturan. Kita "diberitahu" tentang "apa yang seharusnya kita lakukan dan yang tak boleh kita ikuti". Tanpa sadar kita telah mengikuti jalan yang telah di buatkan oleh orang lain. Kita menganggap jalan itu adalah jalan yang memang seharusnya kita tempuh karena mayoritas orang menempuh jalan yang sama. Sejak kecil orang tua dan orang-orang di sekeliling kita telah mengenalkan sebuah "peta hidup". Seperti, "kalau ingin sukses harus begini dan begitu," atau "hidup yang benar itu seperti ini dan seperti itu".

"Peta hidup" tersebut juga mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya. Kita pun tumbuh dengan mengikuti "peta" tersebut tanpa mempertanyakan apakah tujuan yang hendak di tunjukan oleh "peta" tersebut adalah tempat yang memang ingin kita temukan. [Halaman 12-13]

Dalam bukunya ini, penulis juga menguraikan sebuah pertanyaan. "Apakah kita hidup untuk makan atau makan untuk hidup?"

Bekerja adalah kebutuhan manusia. Namun, hidup kita bukan hanya perkara makan meskipun makan itu sangat perlu. Makan adalah kebutuhan dasar yang memang harus di penuhi tapi kita tidak hidup untuk itu. Kita tidak hidup untuk makan  tapi makan untuk mendukung hidup. Kita tidak hidup untuk bekerja tapi bekerja untuk menyokong hidup. Jika memang kita tidak hidup untuk makan tapi makan untuk hidup, maka pernyataan ini Seharusnya membawa pengaruh dalam hidup kita. 

Kita sudah mengetahui hal tersebut, tapi tidak semua yang benar-benar "mengetahuinya" di dunia rill. Dari 24 jam yang kita punya, sebagian besar kita menghabiskan waktu lebih banyak untuk bekerja. Rata-rata orang bekerja 8 jam setiap hari bahkan ada yang 12 jam dan 16 jam. Aktivitas mencari uang dan makan kadang menghilangkan waktu untuk Sang Pencipta, keluarga dan masyarakat.[ Halaman-7] 

Di tengah kesempatan hidup yang semakin menyusut, kita harus berpikir ulang tentang cara kita menjalani hidup. Begitu juga dengan pilihan-pilihan kita agar waktu yang sedikit ini lebih bermakna. 

Penulis juga menguraikan beberapa pertanyaan lainnya tentang [Halaman-9]:

- "Apakah tidak sayang hidup yang sekali dengan jatah waktu yang terbatas ini kita habiskan untuk perut saja?"

- "Sebagai makhluk yang di karunia kelebihan, apakah menjalani hidup yang "ala kadarnya" adalah satu-satunya hal yang bisa kita lakukan?"

- "Haruskah kita hidup dalam "kehidupan yang sempit" dan "dunia yang kecil" hanya karena kurang terlatihnya potensi yang dikarunia oleh Sang Pencipta kepada kita?" 

Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang indah dengan makna yang dalam, telah di paparkan oleh penulis dalam bukunya ini dan sangat menginspirasi saya!

Tentunya pilihan-pilihan apapun yang kita pilih dalam hidup ini dan keputusan kita yang telah memilihnya akan menjadi tanggung jawab kita yang menjalaninya. Namun tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan kembali konsekuensi atas pilihan-pilihan yang telah kita pilih.

Sofina Sehan