Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rozi Rista Aga Zidna
Buku Kontrakan 18 (Dok. Pribadi/Fathorrozi)

Seorang anak yang terlahir ke dunia, tentu ada orangtua yang melahirkannya. Saat anak dilahirkan, ia butuh belaian, perhatian dan kasih sayang kedua orangtuanya. Saat sedih, seorang anak butuh orangtua untuk menghiburnya. Ketika terjatuh, ia butuh tangan orangtua untuk membangkitkan dan mengobati luka-lukanya. Pendek kata, seorang anak butuh terhadap orangtua.

Tidak jarang, seorang anak ketika sukses dan berhasil mendapatkan apa yang dicita-citakan, ia mendedikasikan semua capaiannya untuk kedua orangtuanya. Sebab, ia sadar di balik kesuksesannya, terdapat kedua orangtua yang selalu mensupport dan mengarahkannya.

Mengenai hubungan antara anak dan orangtua, terdapat buku menarik yang sebagian isinya mengurai hal tersebut. Buku yang dimaksud berjudul Kontrakan 18, yang diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta. Buku kumpulan cerpen ini memuat delapan cerita terbaik karya Maria Paulina. Delapan cerpen tersebut berjudul Usia 21, Yang Terbaik, Kontrakan 18, Ayu Mirah, Ramalan Bintang, Akhirnya Aku Menangis Lagi, Pernikahan Tak Selamanya Indah, dan Potret Keluarga.

Dalam cerpen Usia 21, penulis mengisahkan seorang anak perempuan berbakat yang mendapat tawaran untuk kuliah S1 di Bandung. Dengan penuh pertimbangan, ia menyetujuinya. Namun, ia bingung bagaimana hendak mengatakan kepada ibunya. Ketakutan tersebut digambarkan dalam kutipan berikut:

Pagi ini perasaanku tidak karu-karuan. Tiba-tiba kepalaku sakit sekali, perutku mulas, jantungku berdetak kencang dan semuanya serba menegangkan. Sehabis doa pagi rasanya aku sedikit lebih tenang dan siap ngomong masalah kuliah di Bandung. (Kontrakan 18, halaman 3).

Ia terus memikirkan bagaimana cara berbicara dengan ibunya. Ia pun teringat sewaktu kecil selalu mendapat perlakuan kurang baik dari ibunya. Seperti tamparan, umpatan, cubitan sampai merah, disiram pakai air bekas pel, serta perlakuan kejam lainnya. Pernah pula ia dilempar botol sirup hingga kepalanya bocor.

Dan saat ia sudah mengumpulkan segenap keberaniannya untuk meminta izin kuliah ke Bandung, ibunya menjawab ketus, "Terserah kamu, kali kamu malah senang jauh dari ibu." Ia kemudian berangkat dengan terpaksa, dengan deraian air mata, demi mengejar cita-cita. 

Setelah hampir sebulan di Bandung dan segalanya berjalan lancar, ia balik ke Yogyakarta karena libur. Saat pulang, ia kembali dihantui rasa takut bertemu ibunya. Ternyata, sesampainya di rumah, untuk kesekian kalinya ia diusir oleh ibunya. Bahkan, ibunya melontarkan kata bahwa si Neng, anaknya itu, senyatanya bukanlah anaknya.

Pesan tersirat yang dapat kita petik dari kisah ini adalah sebagai orangtua, terlebih seorang ibu, hendaklah berlaku baik kepada anak. Tidak boleh kasar, keras, mengumpat, memukul, apalagi membocorkan kepala anaknya pakai botol sirup. Selain anak perlu perlindungan, aksi kekerasan dalam rumah tangga itu memang dilarang, baik oleh agama maupun negara.

Rozi Rista Aga Zidna