Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Buku "Susu Bikini" (Dokumen pribadi/ Sam Edy)

Banyak cara yang bisa digunakan untuk mengkritisi sesuatu. Misalnya melalui tulisan, baik fiksi maupun nonfiksi. Itulah salah satu manfaat dari menulis yang saya rasakan selama ini, yakni sebagai wadah untuk mengkritisi beragam kejadian di sekitar kita.

Buku dengan judul yang sangat unik “Susu Bikini” karya Encep Abdullah ini juga termasuk buku yang sarat dengan kritikan. Kritikan yang berhubungan dengan cara orang-orang berbahasa selama ini. 

Drs. Mustakim, M.Hum, dalam kata pengantar buku ini menulis: “membaca tulisan Encep Abdullah dalam buku Susu Bikini ini seperti menyimak sebuah cerita. Informasinya disampaikan secara lancar dengan gaya bertutur yang enak diikuti.

Sebagian besar informasi yang disampaiakn dalam buku ini tampaknya digali dari pengalaman pribadinya dalam bergelut dengan masalah kebahasaan. Oleh karena itu, ide-idenya tampak lancar mengalir. Bahasa yang digunakannya pun merupakan bahasa keseharian yang akrab dengan pembaca sehingga orang tidak perlu mengernyitkan dahi untuk memahami informasi yang disampaikan”.  

Salah satu esai yang menarik disimak dalam buku ini berjudul “Kamar Mandi”. Membahas tentang perbedaan ‘kamar mandi’ dan ‘kamar kecil’. Selama ini, masih ada orang yang salah kaprah dalam menggunakan kedua istilah tersebut. Misalnya, mau buang air kecil tapi bilangnya mau ke ‘kamar mandi’. Mestinya ia menggunakan kata ‘kamar kecil’ atau kata ‘toilet’ bila ingin buang air besar atau kecil.

Dalam KBBI, kamar mandi berarti ‘bilik tempat mandi’, sedangkan kamar kecil berarti ‘jamban’ atau ‘kakus’, yakni tempat buang air (besar/kecil). Tentu, ini makna yang berlainan. Nyatanya memang, keduanya digunakan pada tempat yang sering kali dinyatakan sama. Mengapa itu bisa terjadi? Karena ada beberapa orang yang memang membuat kamar mandi menyatu dengan kamar kecil. Ada pula yang memisahkannya meskipun hanya dibatasi tripleks. Nah, ketika dipisahkan itu, istilah kamar mandi dan kamar kecil itu bisa berbeda (halaman 42).

Esai menarik berikutnya yang patut kita simak berjudul “Dosa Terindah”. Encep Abdullah berusaha mengkritisi sebuah lagu berjudul ‘Pemujamu’ yang dinyanyikan oleh Ada Band. Dalam lagu tersebut ada kata-kata begini: ‘kuingin ini menjadi dosa terindah dalam hidupku’.

Kita tentu tahu, bahwa yang namanya dosa adalah hal yang mestinya disesal. Artinya, ketika kita berbuat dosa, harusnya segera menyesali dan bertobat. Tidak ada ceritanya dosa itu indah, yang ada dosa itu adalah sesuatu yang akan membuat seseorang disiksa atas perbuatannya. 

Liriknya dosa terindah, loh. Bukan kenangan terindah atau perempuan terindah. Yang lumrah kita tahu—pada umumnya—dosa adalah perbuatan yang melanggar hukum Tuhan atau agama atau perbuatan salah terhadap orang tua, adat, atau negara. Perbuatan salah tentu seharusnya disesali atu direnungi kalau bisa segera memohon ampun atau maaf (bertobat). Nah, kalau dosa terindah? Perlukah disesali? (halaman 94).

Esai-esai yang disajikan dalam buku ini menurut saya menarik disimak dan renungi. Diharapkan kita dapat lebih berhati-hati dalam berbahasa. Mari kita berusaha menggunakan bahasa yang tepat dan tidak salah kaprah. 

Video yang mungkin Anda suka:

Sam Edy Yuswanto