Sebagai kota pelajar, Pamekasan tidak kekurangan ide dalam mengaktualisasikan ikonnya (pendidikan) terhadap wisata yang ditawarkan. Konsep wisata yang dikemas dalam kemasan edukasi rupanya sudah direalisasikan. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar (hanya satu/dua), namun impact yang diberikan terhadap lingkungan sekitar wisata (dari beberapa aspek) sudah sangat lumayan.
Wisata berbasis edukasi tersebut tepat berada di desa Lembung, Kecamatan Galis, Kabupaten Pamekasan. Wisata yang ditawarkan adalah konservasi hutan mangrove. Sesuai dengan namanya (hutan mangrove), destinasi ini menyuguhkan panorama pantai yang dikelilingi bakau yang saat ini sudah mencapai 46 hektar.
Sebelumnya, bahkan jauh sebelum itu, hutan bakau tersebut dirintis oleh Sadra'i dan Slaman (pasangan ayah dan anak), tepatnya pada tahun 1986. Tentu pada saat itu, tidak ada pemerintah yang melirik apalagi melakukan sebuah afiliasi. Sebab, niatan awal penanaman mangrove hanya sekadar untuk merespon gejala lingkungan yang kurang mendukung.
Slaman merupakan penduduk lokal desa Lembung. 8 tahun aktifitas itu dilakukan bersama.sang ayah, setelah kemudian pada tahun 1993, ayahnya meninggal. Awalnya, hutan bakau tersebut hanya dikhususkan sebagai cara untuk mengatasi abrasi. Sebagaimana Slaman menuturkan saat ditemui, Lembung memiliki beberapa problem. Di daerah itu dulunya ketika malam purnama, air laut bisa masuk ke perkampungan dan merusak tambak milik warga, kerugian yang dialami biasanya mencapai 3-5 juta.
Di daerah tersebut (yang sekarang menjadi tempat wisata) dulunya merupakan lautan, bukan pesisir, sebagaimana yang dijelaskan Slaman di tengah perbincangan. Maka, tak heran jika terjadi abrasi, ditambah cuaca panas di sekitarnya yang sangat menyengat. Oleh karena itu, Salaman melakukan suatu langkah, yakni penanaman benih Mangrove.
Pada tahun 2010, komunitas Sabuk Hijau dibentuk. Tentunya, komunitas tersebut melibatkan warga sekitar sebagai aktornya. Pun, tidak lain, komunitas ini merupakan wadah untuk melanjutkan prospek kerja dalam melestarikan lingkungan pesisir. Slaman sebagai pencetus mengajak warga sekitar dengan melakukan sosialisasi secara face to face (bertatap-tatapan), mendatangi setiap rumah, dan meminta anak-anak warga (baca: pemuda) yang tidak memiliki pekerjaan untuk ikut serta membantunya dan bergabung dalam komunitas tersebut.
Sebenarnya bukan tanpa aral, menurut Slaman, warga desa memiliki kepribadian yang keras. Bahkan, olokan-olokan yang stigmatis juga kerap diterimanya. Mereka sangat sulit untuk diajak. Di samping, mereka khawatir pekerjaan demi kian hanya akan sia-sia. Beberapa oknum masyarakat yang kurang suka pun nekat mencabuti benih-benih bakau yang sedang ditanam secara diam-diam. Tak tanggung, pos jaga pun dirusak dengan cara dibakar secara sembunyi-sembunyi.
Desa Lembung saat ini menjadi pesisir yang sering dikunjungi oleh wisatawan. Utamanya oleh pemuda yang hanya sekadar melepas penat, melakukan pembelajarn outdoor, melaksanakan konservasi, sampai ikut menanam benih mangrove bersama. Tentunya, impact dari wisata semacam ini sangat dirasakan dan bermanfaat.
Perekonomian desa Lembung, sedikit banyak, juga mengalami perubahan. Bukan hanya karena adanya sektor wisata (dalam artian: penghasilan dari wisata itu sendiri), lebih dari itu, hutan mangrove juga memberikan manfaat atas penghasilan tambahan warga sekitar.
Dari hutan bakau itu, Slaman yang lumayan paham dengan cara pengelolaan mangrove mengajak warga ikut melakukan sebuah inovasi. Memanfaatkan mangrove yang sudah ada, Slaman dan warga sekitar berhasil mengolah mangrove menjadi berbagai produk. Baik dari makanan dan minuman.Sumber Daya Alam (SDA) hayati yang ada ternyata bisa juga direspon secara bijak.
Warga Lembung menciptakan SDA yang tersedia sebagai peluang. Tentunya dilakukan tanpa melakukan eksploitasi. Melalui komunitas yang diciptakan sejak 11 tahun silam itu, produk seperti kopi, teh, madu, dan konsumsi lainnya bisa dihasilkan. Bahkan setiap bulannya, ada sekitar 7 juta setiap bulannya.
Tak hanya produk-produk yang disebutkan di atas, makanan-makanan ringan seperti kerupuk dan cendol juga berhasil dikelola dari hutan mangrove tersebut. Beberapa warga juga mengambil keuntungan dengan mengambik tiram-tiram yang ada dan melekat di pohon-pohon mangrove.
Di antara mereka juga ada yang memilih menangkap Lorjhuk (bahasa Madura dari tiram bambu). Lorjhuk-lorjhuk tersebut biasanya diolah menjadi beberapa olahan, yang paling diminati adalah rujak Lorjhuk.
Menurut mereka, tidak semua jenis mangrove bisa dijadikan makanan dan minuman. Ada beberapa jenis saja yang memang bisa diolah. Seperti halnya mangrove berjenis Rhizophora Stylusa yang biasa dibuat menjadi kopi, ada Sonneratia alba yang dibuat sebagai sirup, dan Apikulata yang biasa dibuat racun ikan.
Inovasi-inovasi tersebut yang dihasilkan dari mangrove membuat banyak mahasiswa, baik dari dalam atau luar daerah yang datang berkunjung untuk melakukan observasi. Mereka mengamati secara langsung bagaimana hutan mangrove bisa menghasilkan kopi, teh, dan makanan-makanan lain.
Dari kedatangan pelajar-pelajar tersebut juga membuktikan bahwa fungsi mangrove sebagai ekologi dan fungsi sosial sudah teraktualisasi.
Pembelajaran-pembelajaran dan penlitian merupakan langkah baik untuk tetap menjaga eksistensi ekosistem dan biota-biota yang ada. Wallahu a’lam...
Baca Juga
-
Menikmati Kerenyahan Gambir Pamekasan, Camilan di Madura yang Menggugah Selera
-
Menikmati Bakdabak, Camilan Khas Madura yang Rasanya Bikin Nagih
-
Bukit Tawap Sumenep, Nikmati Pesona Wisata Air di Ketinggian
-
3 Cara Mengendalikan Anak dari Ketergantungan Gadget, Orang Tua Wajib Tahu!
-
Ulasan Film Shattered Glass: Kebohongan dalam Dunia Jurnalistik
Artikel Terkait
-
Transformasi Red Hook: Dari Sarang Kejahatan Hingga Tujuan Wisata?
-
3 Rekomendasi Tempat Melukat di Bali untuk Ketenangan Batin
-
Candi Sojiwan, Candi Bercorak Buddha yang Tersembunyi di Prambanan
-
Ingin Kepulauan Seribu Jadi Destinasi Wisata, Pramono Anung Bakal Benahi Transportasi Laut
-
Kraton Waterpark, Serunya Bermain Air di Tengah Hiruk Pikuk Kota Sidoarjo
Ulasan
-
Ulasan Novel Persona: Kisah Remaja dalam Menghadapi Ekspektasi Sosial
-
Ulasan Buku High Value Woman: Menjadi Perempuan Berprinsip dan Percaya Diri
-
Perspektif Penyakit dan Perawatan dalam Buku "How to Tell When We Will Die"
-
Ulasan Film Forbidden Dream, Kisah Sejarah Dua Pemimpi Hebat Era Joseon
-
Ulasan Buku Seni Mewujudkan Mimpi Jadi Kenyataan Karya James Allen
Terkini
-
3 Film Korea Bertema Sejarah yang Hadirkan Beragam Kisah Menggugah
-
Ada Pop Ballad, Irene Red Velvet Usung Beragam Genre di Album Like A Flower
-
Kenang Mendiang Aktor Song Jae Rim, Aktris Kim So Eun Tulis Pesan Menyentuh
-
Sehat ala Cinta Laura, 5 Tips Mudah yang Bisa Kamu Tiru!
-
ILLIT Rasakan Debaran Jantung yang Kencang di MV Lagu Terbaru 'Tick-Tack'