Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sam Edy
Buku "Jas Putih".[Dokumen pribadi/ Sam Edy]

Anak adalah anugerah terindah yang mestinya dirawat dan dibesarkan oleh orangtuanya dengan sepenuh cinta dan kasih sayang.  Tanpa balutan cinta dan kasih sayang dari kedua orangtua, rasanya kehidupan anak akan suram, menyedihkan, dan berimbas buruk bagi masa depannya kelak.

Anak-anak yang terbiasa menjalani hidup di jalanan menjadi bukti nyata tentang ketidakpedulian orangtua untuk merawat anak-anaknya. Sebagian dari mereka bahkan mungkin banyak yang terlahir dari rahim para perempuan yang tak menginginkan atau belum siap memiliki anak. 

Bicara tentang anak-anak jalanan, ada kisah menarik yang saya baca dalam novel “Jas Putih” (2014) karya Ni Komang Ariani. Novel ini berkisah tentang sosok Kay, perempuan dewasa yang memiliki kepedulian yang begitu tinggi terhadap nasib anak-anak telantar yang terbiasa hidup di jalanan.

Kay bahkan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan menjadi aktivis LSM Act. Di LSM inilah ia bisa berbuat sesuatu untuk anak-anak yang telantar. LSM Act adalah LSM Internasional yang berupaya menampung dan mendidik anak-anak telantar. Kay sangat menikmati pekerjaan yang sudah digeluti selama sembilan tahun tersebut. 

Kay bersama teman-temannya bahkan berusaha mengumpulkan dana untuk mewujdukan misi mulainya yakni mendirikan ‘Rumah Hati’ sebuah rumah penampungan untuk anak jalanan dan anak telantar.

Kay menamai tempat penampungan itu sebagai ‘Rumah Hati’ karena ia ingin siapa pun yang datang ke rumah itu bisa mengembalikan hatinya. Selama ini banyak yang lupa pada hak anak-anak. Lupa bahwa mereka adalah makhluk-makhluk kecil yang tak berdosa. Mereka dibiarkan bertarung sendiri dengan kerasnya kehidupan. 

Persoalan muncul ketika Kay merasa bimbang dengan ajakan menikah dari cowok keren dan mapan bernama Yama. Jadi ceritanya, sudah lima tahun Kay berpacaran dengan Yama, seorang dokter muda yang kariernya sedang menanjak. 

Bila ditelisik, latar belakang kehidupan Kay dan Yama memang sangat jauh berbeda. Kay terlahir dari sebuah keluarga yang hangat dan penuh cinta serta kasih sayang dari orangtuanya. Kay menjalani hidup yang begitu mudah sejak kecil.

Sementara Yama, hidup kekurangan. Di masa kecilnya, ibu bahkan tidak mampu memberinya uang saku untuk jajan di sekolah. Yama selalu terkenang saat ia hanya bisa menahan ludah melihat teman-temannya membeli jajanan yang mereka suka. Ingatan ini tidak pernah hilang dari benaknya. 

Sebetulnya Kay ingin membangun keluarga seperti kedua orangtuanya. Keduanya saling mengasihi sekaligus saling mendukung dalam karier masing-masing. Hanya saja, sekarang ini, belum ada dorongan kuat di hati Kay untuk menikah padahal usianya sudah 33 tahun, usia yang konon disebut sebagai ‘usia panik’.

Awal-awal masa pacaran memang terasa indah dan banyak kecocokan. Namun siapa yang mengira ketika pada akhirnya karakter asli Yama mengalami perubahan. Dendam masa kecil lelaki itu seolah menjelma dirinya menjadi sesosok monster. Di sinilah Kay merasakan ketidakcocokan lagi untuk menjalin hubungan serius dengannya. 

Novel karya Ni Komang Ariani yang diterbitkan oleh Elex Media Komputindo ini menarik disimak dan direnungi pelajaran berharganya. Terutama terkait anak-anak telantar yang butuh ditampung oleh orang-orang berhati mulia seperti Kay dan teman-temannya yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi.  

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Sam Edy