Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | Risna Wati
Poster Film Hope.(imdb.com)

Film Hope atau yang dikenal juga dengan “Wish” yang rilis tahun 2013 mengisahkan tentang kehidupan seorang anak yang akrab dipanggil Im So Won berusia 8 tahun yang tragisnya menjadi korban kekerasan seksual saat hendak berangkat ke sekolah. Ia diperkosa secara sadis oleh seorang pria di bangunan konstruksi yang terbengkalai di dekat sekolahnya.

So Won terluka parah. Tubuhnya penuh luka, bahkan ada luka terkoyak dari anus hingga perut yang membuat ususnya keluar sehingga ia harus memakai kantong kolostomi. Kekerasan seksual dan fisik yang hampir merenggut nyawanya membuat So Won sampai mengalami cacat permanen dan harus menjalani operasi pengangkatan anus dan usus besar. Dampak yang paling fatal adalah trauma yang menyerang psikis So Won.

Melansir laman halodoc.com, Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah gangguan mental yang terjadi akibat mengalami atau menyaksikan peristiwa yang tidak menyenangkan dan bersifat traumatis. Trauma yang tidak diatasi dengan baik dapat menyebabkan korban kekerasan seksual mengalami depresi hingga post-traumatic stress disorder (PTSD).

Trauma yang dialami langsung oleh so won telah menunjukkan beberapa gejala untuk terkena gangguan post- traumatic stress disorder (PTSD) didukung pula dengan gaya kelekatan So Won dan orang tua yang tidak baik memiliki potensi untuk memiliki gejala PTSD yang lebih tinggi (Nader,2007).

Mengutip laman buku Psikopatologi Anak Dan Remaja karya Amalia, H. Ulfa dkk (2022), Dalam DSM-5, kriteria PTSD terdiri dari empat kelompok gejala utama, yaitu reexperiencing, penghindaran (avoidance), terdapat perubahan negatif yang berlangsung terus menerus dalam kognisi dan suasana hati (negative alternation), terdapat perubahan pada gairah, dan reaktivitas (hyperarousal) (Strain & Casey: 2015).

Pada gejala reexperiencing, So Won hanya menunjukkan reaksi fisik serta psikologis yang berlebihan ketika kenangan peristiwa traumatis muncul dibuktikan pada saat scene So won yang menangis sambil berteriak dan memberontak ketika ayahnya mencoba mengganti kantung kolostomi nya sambil mencoba membuka area baju bawahnya dan memegang kaki kedua putrinya.

Buntutnya, sontak membuat So won terdiam sambil bernafas terengah-engah dengan detak jantung yang sangat cepat membuat ayahnya pun menyesali perbuatannya karena telah membuat  So Won kembali mengingat pengalaman traumatis tersebut.

Pada gejala Avoidance, So Won menghindari bertemu ayahnya karena telah memicu kenangan dari peristiwa traumatisnya.

Gejala Negative alternations ditampilkan oleh So Won hanya melalui ia yang berpikiran negatif dan menyalahkan diri sendiri, orang lain dan lingkungan mengenai peristiwa yang dialaminya, merasa terisolasi dari dunia luar, merasa tidak berminat dengan aktivitas yang biasa dilakukannya, muncul perasaan-perasaan negatif (malu, horor, takut) dan adanya kesulitan dalam mengekspresikan perasaan atau emosi-emosi positif bahkan enggan berbicara. 

Namun, pada Gejala hyperarousal, So Won tidak menunjukkkan perilaku sulit tidur,kesulitan berkonsentrasi, melakukan hal yang beresiko seperti gejala umum PTSD lainnya.

Hal ini membuat So Won belum tentu dinyatakan mengalami PTSD karena hanya beberapa gejala kecil yang ditunjukkan, rentang waktu trauma yang tak tersampaikan didukung pula dengan penanganan psikiater yang cepat pasca kejadian tidak membuat trauma ini berkembang menjadi PTSD. 

Risna Wati