Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fitri Khairunnisa
Ilustrasi Buku Slow Living (Dokumen Pribadi/Fitri Khairunnisa)

Sebagian dari kita tentu sadar bahwa saat ini kita hidup di peradaban yang serba cepat berkat kemajuan ilmu dan teknologi. Namun ternyata, peradaban yang serba cepat bukanlah hidup yang ramah bagi sebagian orang. Sebab kecepatan tersebut diam-diam menimbulkan rasa takut akan ketertinggalan dalam diri sebagian orang, bahkan mungkin pada diri kita sendiri.

Oleh sebab itu, kita memilih untuk berlari lebih cepat lagi. Kita berlari hingga tak sadar bahwa kesibukan yang kita jalani telah menelan banyak waktu, tenaga, pikiran, kesempatan, dan segala yang kita miliki. Apakah memang ini hidup yang kita cari?

Buku Slow Living yang ditulis oleh Sabrina Ara ini cocok sekali untuk kita yang merasa masih banyak "belum" nya. Entah itu belum lulus kuliah, belum mendapat pekerjaan, belum menikah, belum punya keturunan, belum punya hunian, dan masih banyak belum lainnya.

Kebanyakan orang saat ini sangat mengglorifikasikan kesibukan, menganggap bahwa semakin sibuk, maka artinya semakin produktif, sehingga semakin cepat mereka menghasilkan apa yang mereka mau. Padahal nyatanya, sibuk dan produktif adalah dua hal yang berbeda. Sibuk berfokus pada kuantitas kegiatan, sedangkan produktif adalah tentang kualitas dari kegiatan. Dan saat ini, orang-orang lebih suka mengejar kuantitas dan mengesampingkan kualitas.

Walaupun sibuk tidak selalu membawa dampak buruk pada manusia, namun kesibukan sering kali membuat kita berlari tergesa-gesa hingga lupa menikmati hidup. Padahal keputusan untuk sibuk atau tidak ada pada diri kita masing-masing. Dalam buku ini, dijelaskan bahwa ada lima cara agar tetap produktif tanpa harus sibuk, yakni:

  1. Fokus terhadap sedikit hal
  2. Investasikan waktu untuk hal yang penting
  3. Berlatih ikhlas untuk kesempatan yang lepas
  4. Waspada terhadap gangguan
  5. Menjaga Kesehatan

Fakta lain yang kita sering lupa dari kesibukan yang tidak dikelola dengan baik adalah timbulnya rasa terburu-buru. Padahal jika kita terlalu sering terburu-buru, tentu kita akan kacau. Penyakit buru-buru ini dikenal sebagai hurry sickness, yaitu pola perilaku yang membuat kita selalu merasa terburu-buru. Padahal, bisa jadi kita terburu-buru di situasi yang sebenarnya tidak harus seperti itu.

Maka terbukti bahwa menjejali hari dengan banyak aktivitas sampai tak punya waktu luang justru membuat kita mengerjakan segala sesuatu dengan tidak khusyuk. Kita tidak bisa menikmati setiap aktivitas, karena selalu ingin segera berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain.

Oleh sebab itu, penulis berusaha mengenalkan gaya hidup melambat atau disebut juga sebagai slow living. Namun melambat bukan berarti bergerak pelan seperti siput. Kita hanya perlu mengatur ritme yang sesuai dengan diri kita sendiri tanpa perlu membanding-bandingkan dengan hidup orang lain.

Gaya hidup slow living ini diadopsi dari filsafat stoikisme, yakni aliran filosofi yang membantu kita untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup melalui fokus diri, refleksi diri, dan antisipasi. Beberapa prinsip hidup ala stoikisme antara lain:

  1. Menyadari hal yang bisa dikendalikan dan mana yang tidak
  2. Mengharapkan hal terbaik, tapi juga mempersiapkan kemungkinan terburuk
  3. Mencintai takdir yang terjadi
  4. Menyadari bahwa segala sesuatu dalam hidup tidak ada yang abadi
  5. Menciptakan jarak emosi yang sehat.

Dari beberapa poin di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa betapa penting bagi kita untuk tidak selalu berlari. Kita perlu mengambil jeda untuk bisa benar-benar menikmati hidup, sebab terlalu mengerikan jika kita menjalani hidup hanya untuk mengejar ambisi lalu mati.

Masih banyak lagi pelajaran yang dapat kita ambil dari buku Slow Living yang diterbitkan oleh Syalmahat Publishing ini. Selamat membaca.

Fitri Khairunnisa