Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fitri Khairunnisa
Ilustrasi Cover Buku Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas (DocPribadi/Fitri Khairunnisa)

Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar kalimat orang Indonesia Tionghoa atau yang belakangan ini sering disebut dengan istilah Chindo? Kebanyakan dari kita terutama gen z pasti mengidentifikasikan Chindo sebagai kaum minoritas penuh hak istimewa.

Pasalnya, banyak terjadi fenomena di mana orang Chindo cenderung lebih mudah diterima oleh perusahaan ketimbang orang pribumi. Begitu pun dalam urusan bisnis, orang Chindo dianggap lebih menguasai pasar dalam bidang tertentu dibanding orang pribumi.

Namun di balik itu semua, tahukah kamu bahwa orang Tionghoa di Indonesia memiliki beban historis yang cukup berat di masa pemerintahan Orde Baru?

Buku karya Aimee Dawis yang berjudul "Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas" ini menggambarkan saat penuh bahaya dalam sejarah Indonesia ketika Orde Baru pimpinan Suharto menerapkan kebijakan asimilasinya pada orang Indonesia Tionghoa.

Di tengah pertumpahan darah pemberantasan Komunis tahun 1965-1966, pemerintah Orde Baru mengeluarkan larangan penggunaan bahasa, tradisi, dan kesenian Tionghoa di muka umum yang dianggap Komunis. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup dan orang Indonesia Tionghoa diimbau untuk mengganti nama Tionghoa mereka. Buku ini menyoroti generasi yang lahir, dibesarkan, dan menjadi dewasa di dalam iklim tekanan ini.

Iklim tekanan baru lepas ketika gerakan "Reformasi" melawan kekuasaan otoriter memaksa Presiden Suharto lengser dari kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998. Namun sayangnya, peralihan ke keterbukaan ditandai oleh saat kelam: Seminggu sebelum jatuhnya Suharto, dalam 2 hari yang bagai neraka.

Toko-toko milik orang Tionghoa dibakar dan dirampok. Lebih dari 150 wanita keturunan Tionghoa diperkosa secara massal, tetapi wanita-wanita itu kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas atau bukti kekejaman tersebut.

Aimee Dawis memulai penelitian ini pada tahun 2022,  di mana suasana negeri ini sudah berbeda. Pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid menghapus diskriminasi secara hukum terhadap orang Indonesia Tionghoa, dan pada tahun berikutnya Presiden Megawati mengeluarkan keputusan yang menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai salah satu hari libur nasional di Indonesia.

Tarian Barongsai mulai dipertunjukkan di tempat umum dan kursus bahasa Mandarin berjamuran. Hal ini juga terjadi secara kebetulan bersamaan dengan munculnya Tiongkok sebagai pemain baru ekonomi global.

Saat memulai penelitian ini, Aimee mulai menyelidiki bagaimana orang Indonesia Tionghoa yang lahir sesudah tahun 1966 menyimpulkan makna tentang kebudayaan dan jati diri mereka.

Aimee secara khusus tertarik untuk menganalisis ingatan mereka tentang masa pertumbuhan mereka di tengah lingkungan media yang terkekang, yang secara khusus melarang bahasa dan kebudayaan Tionghoa dalam pemahaman makna ini.

Dalam penelitiannya, Aimee membahas 3 pertanyaan yang saling berkaitan:

1. Bagaimana kebijakan asimilasi berperan dalm pembentukan jati diri Indonesia Tionghoa? 

2. Apakah peran media elektronik (film dan film seri Tionghoa) dalam pembentukan jati diri budaya orang Indonesia Tionghoa?

3.  Sejauh mana media ini membantu memperkuat ketionghoaan mereka?

Sambil mulai mengumpulkan data untuk menjawab pertanyaan tersebut, Aimee menemukan bahwa orang Indonesia Tionghoa yang diwawancarainya merupakan kelompok orang yang beragam dan pelik, yang dibedakan oleh agama, daerah asal, dan latar belakang keluarga mereka.

Setelah membaca ulasan ini, apakah kalian tertarik untuk mengetahui lebih dalam proses pencarian jati diri orang Indonesia Tionghoa di masa Reformasi? 

Fitri Khairunnisa