Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fitri Khairunnisa
Cover Buku The Whole Brain Child (Gramedia)

Semua orang tua pasti sepakat bahwa dalam mengasuh anak ada kalanya terasa begitu melelahkan terutama saat anak sedang tantrum, tak mau diatur, dan lain sebagainya. Namun rupanya momen tersebut merupakan kesempatan bagi orang tua untuk dapat mengoptimalkan perkembangan anak, seperti yang dijelaskan dalam buku yang akan saya ulas kali ini.

Ditulis oleh Daniel J. Siegel seorang profesor klinis psikiatri dan Tina Payne Bryson seorang psikoterapi, buku "The Whole Brain Child" mengombinasikan ilmu medis dan ilmu psikologi. Secara umum buku ini mengajarkan beberapa strategi dalam mendidik anak yang berbasis pada pengetahuan tentang perkembangan otak anak dan sistem kerja otak anak. Strategi-strategi tersebut ditujukan untuk mengembangkan otak anak baik dari aspek mental, emosional dan sosial.

Di dalam buku ini dijelaskan tentang otak kiri, otak kanan, otak atas dan otak bawah. Di mana dari beberapa bagian otak tersebut ada otak yang bertanggungjawab untuk memunculkan kemampuan rasional pada diri manusia dan ada bagian otak yang bertugas memunculkan reaksi emosional dari dalam diri manusia.

Dan pada anak, yang dominan bekerja adalah otak yang memunculkan reaksi emosional sehingga sering kita jumpai anak-anak cenderung menyikapi segala kondisi yang dihadapinya secara emosional. Tugas kita sebagai orang tua adalah mendidik mereka sesuai dengan perkembangan otaknya sambil melatih kemampuan otak mereka yang kurang dominan, yakni otak rasional, agar kinerja otak mereka berjalan dengan seimbang.

Sebagaimana yang tercantum dalam sub judulnya, buku ini menyajikan 12 strategi dalam mendidik anak. Dari 12 strategi tersebut, berikut adalah beberapa poin penting yang bisa diambil dan kita terapkan untuk kehidupan sehari-hari dalam mendidik anak.

  1. Koneksi sebelum koreksi. Di saat anak sedang marah, kesal, sedih dan lain sebagainya, hal pertama yang harus kita lakukan adalah terkoneksi dengan anak. Jangan terburu-buru untuk memberikan nasihat dan penjelasan. Kita perlu menenangkan emosi mereka dengan berusaha memahami perasaan mereka dan mencoba mendengarkan mereka. Setelah mereka sudah lebih tenang, maka nasihat dan penjelasan akan lebih mudah dicerna oleh otak anak. Pastikan hindari cubitan, pukulan, karena hanya akan membuat koneksi antara orang tua dan anak menjadi buruk.
  2. Menamai untuk menjinakkan. Agar otak rasional dan emosional anak bisa bekerja secara seimbang, kita perlu membantu anak untuk mengenali jenis-jenis emosi yang mereka rasakan baik itu senang, sedih, marah, takut, dan lain-lain. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menceritakan pada anak tentang pengalaman emosional yang pernah dialami oleh orang tua. Dengan memahami cerita tersebut, secara tidak langsung kita sedang melatih anak untuk mengatasi peristiwa emosional yang akan mereka hadapi.
  3. Membujuk bukan memarahi. Saat anak berbuat kesalahan, biasakan ajak anak untuk berkomunikasi, diskusi dan negosiasi, bukan langsung memarahi atau bertindak secara otoriter. Sebab dengan begitu, secara tidak langsung kita sedang melatih kinerja otak rasional anak. Di mana anak akan paham bahwa dalam menghadapi permasalahan, perlu adanya tindakan yang rasional dan tidak semata-mata menggunakan reaksi emosional saja.
  4. Gunakan agar tidak hilang. Poin ini masih berkaitan dengan poin ketiga, yakni melatih kinerja otak rasional anak. Caranya adalah dengan melatih anak untuk mengambil keputusan secara mandiri dan latih mereka untuk melihat konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan.
  5. Gerakkan agar tidak hilang. Riset membuktikan bahwa ternyata gerakkan tubuh dapat menstabilkan emosi. Sehingga saat anak mulai merasakan emosi negatif pada dirinya, orang tua bisa mengajak anak untuk melakukan gerakkan tertentu seperti menarik nafas, jalan-jalan, melompat, berlari, dan lain sebagainya.

Itulah lima poin penting yang dapat kita pelajari. The Whole Brain Child jelas sebuah buku yang ilmiah tapi dikemas dengan lebih populer agar mudah dipahami oleh pembaca umum tanpa kehilangan sisi saintifiknya. Uniknya adalah semua data riset dan rujukan itu 'disembunyikan' lalu diganti dengan cerita-cerita, studi kasus, dan penjelasan menggunakan analogi, baru setelah sampai di akhir buku dan membaca biodata penulis kita paham bahwa buku ini ditulis berdasarkan kajian ilmiah dan riset tahunan.

Bagi pembaca yang baru saja mulai membaca buku parenting, buku ini menjadi pilihan yang tepat, karena mudah dipahami, dan membahas hal paling dasar dalam dunia parenting. Selamat membaca!

Fitri Khairunnisa