Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Ilustrasi novel Gadis Minimarket (Ipusnas)

Dalam masyarakat sosial, kerap kali kita harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada dalam masyarakat. Sesuatu hal berbeda yang kita lakukan, yang tak sesuai dengan kebiasaan umum dalam masyarakat, maka akan dianggap abnormal.

Begitu pulalah yang harus dihadapi Keiko Furukura tokoh kita dalam novel Gadis Minimarket karya dari Sayaka Murata dan diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama (2016).

Keiko Furukura, dianggap abnormal sejak kecil oleh keluarga dan lingkungan. Ia berpikir dan bertindak berbeda dari anak seusianya. Seperti saat di taman kanak-kanak dan melihat burung mati, ia membawa burung tersebut pada ibunya, yang mengira Keiko ingin minta burung itu dikuburkan. Tapi, ternyata bukan.

“Kasihan sekali. Ayo kita kuburkan!”

“Ayo kita makan dia!” ujarku.

“Apa?”

“Ayah suka yakitori, jadi nanti malam kita makan ini saja.” (hlm 10)

Keiko juga pernah memisahkan sepasang anak yang berkelahi dengan memukul kepala salah seorangnya dengan sekop. Baginya itu lebih cepat daripada memanggil guru terlebih dahulu.

Orang tua Keiko yang cemas membawanya konseling. Keiko memilih jalan lain.

Ia berhenti berbicara saat di luar rumah. Ia memilih meniru atau mengikuti konstruksi orang lain, berhenti mengambil tindakan sendiri. (hlm 14)

Bagiku diam adalah cara terbaik, seni hidup paling rasional untuk menjalani hidup. (hlm 15)

Ketika Keiko bekerja paruh waktu di Smile Mart Stasiun Hiiromachi saat berusia 18 tahun. Itulah kali pertama Keiko merasa menjadi bagian dari masyarakat. Hari ia terlahir kembali sebagai bagian masyarakat yang ‘normal’.

Keiko merasa mendapat tempat di minimarket tersebut. Tempat orang-orang membutuhkan pelayanannya dan teman-teman serta manajer mengandalkannya. Minimarket menjadi tempat ternyaman yang memberi ruang bagi Keiko untuk menjadi dirinya sendiri.

Sampai akhirnya Keiko tiba di usia 36 tahun, dengan 18 tahun pengabdiannya pada minimarket yang sama, dan ia masih bekerja paruh waktu. Sesuatu hal yang dianggap tidak wajar bagi masyarakat, saat seharusnya ia sudah memiliki pekerjaan tetap, berkeluarga, dan punya anak.

Orang tua dan adik Keiko merasa Keiko belum ‘sembuh’. Ia masih abnormal. Teman-teman kuliahnya dulu yang hanya segelintir juga menganggap Keiko aneh. Begitu pula rekan-rekan kerja dan manajer yang sebenarnya, di belakang Keiko, membicarakan dirinya.

Ketika Keiko berusaha menjadi ‘normal’ seperti keinginan semua orang dengan ‘menyembunyikan’ Shiraha di kamarnya—lelaki pengangguran yang pernah menjadi karyawan di minimarket yang sama—ternyata reaksi tak terduga didapatkannya dari semua orang.

Membaca novel ini, saya melihat banyaknya ketimpangan sosial terjadi dalam masyarakat. Kita diharuskan hidup sesuai standar umum yang berlaku. Menjadi berbeda adalah abnormal yang akan membuat kita diasingkan, disingkirkan, dibuang dari masyarakat.

Novel ini menyampaikan kritik sosial dengan amat apik. Novel yang memberi gambaran kehidupan sosial lewat contoh sederhana, dari kehidupan seorang pegawai minimarket, Keiko Furukura.

Penulisnya, Sayaka Murata, telah berhasil mengangkat problematika sosial, termasuk mengenai krisis tenaga kerja yang terjadi di Jepang, tapi secara bersamaan memberikan pesan yang menyentuh kepada para pembacanya.

Rie Kusuma