Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Cover buku Wesel Pos (Gramedia.com)

Cuma orang sakti yang bisa bertahan hidup di Jakarta.

Kalimat tersebut membuka novela Wesel Pos karya dari Ratih Kumala terbitan dari Gramedia Pustaka Utama (2018). Para pembaca nantinya akan melihat relevansi dari kalimat tersebut dengan keseluruhan isi buku yang berlatar tempat di ibu kota.

Kisah bermula dari Elisa Fatunisa yang berasal dari Purwodadi dan ingin menyusul kakaknya, Ikbal Hanafi, ke Jakarta setelah ibu mereka meninggal dunia. Berbekal wesel pos yang mencantumkan alamat tempat kerja Ikbal, Elisa pun berangkat dan tiba di terminal bus di Jakarta.

Di terminal bus, Elisa menitipkan tasnya pada seorang ibu penjual kopi keliling karena ia kebelet pipis. Saat kembali dari toilet, ibu penjual kopi tadi sudah kabur membawa tas Elisa dan segala isinya, termasuk ijazah SMA, kalung emas, dan uang 150 ribu. Elisa cuma mengantongi hape butut dan wesel pos yang mencantumkan alamat kakaknya.

Elisa melaporkan kasus hilangnya tas ke kantor polisi. Seorang polisi yang kasihan karena Elisa tak lagi punya uang, mengantarkan gadis itu ke gedung perkantoran sesuai alamat yang terdapat di wesel pos.

Di gedung perkantoran tersebut Elisa tak berhasil bertemu Ikbal, tapi seorang sekuriti menyarankan Elisa untuk bertanya pada Fahri, seorang sopir Bos di gedung yang sama dan mengenal banyak orang.

Kelak, pertemuan Elisa dengan Fahri menjadi titik terang tentang keberadaan Ikbal sesungguhnya, yang tak lagi bekerja di gedung perkantoran yang sama dengan Fahri. Melalui Fahri pula, Elisa bersentuhan dengan kehidupan keras Jakarta yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Meski singkat, karena ini novela, tapi Ratih Kumala telah berhasil mengangkat kaum pinggiran di Jakarta menjadi tokoh-tokoh dalam ceritanya.

Selain Fahri, sopir direksi yang merangkap kurir narkoba, ada pula Mas Memet yang berprofesi sebagai banci pengamen, juga Bu Hilda yang kepo serta anaknya, Maudy. Mereka semua tinggal di sebuah rusun di unit lantai 7.

Penggunaan ‘Wesel Pos’ sebagai narator di beberapa bagian cerita merupakan ide yang sangat unik. Terutama karena wesel pos sendiri sudah amat langka digunakan orang untuk mengirimkan uang. Dan ‘mendengarkan’ cerita dari sudut pandang sebuah wesel pos, tentu saja memberikan gambaran penceritaan yang berbeda.

Para polisi mengobrak-abrik seisi unit 712, mencari bukti, atau petunjuk, atau apa pun. Sampai akhirnya di sebuah laci, salah satu dari mereka menemukanku, si Wesel Pos kucel. (hlm 89)

Tanpa sadar serse itu menjatuhkan aku, si Wesel Pos lecek, ke jalanan. Angin membawaku terbang, menjauh dari Fahri, menjauh dari Elisa. Mereka mungkin adalah orang terakhir yang menggunakan jasaku dengan ajek, setiap bulan, setiap habis gajian. (hlm 98)

Karakter Elisa di cerita ini merupakan karakter yang paling bikin saya gemas. Kenekatannya ke Jakarta yang hanya berbekal alamat di wesel pos, keluguannya saat menitipkan tas di terminal pada orang asing dan menahan pipis selama perjalanan karena takut ditinggal bus, ketidaktahuannya tentang YouTube, serta berbagai kepolosan lainnya menjadi poin tersendiri di buku ini.

Saya juga sangat suka dengan semua ilustrasi dalam buku ini, yang ternyata digambar sendiri oleh Mbak Ratih Kumala. Ini jelas merupakan salah satu bukti totalitas beliau terhadap novela karyanya dan sungguh sangat patut untuk diapresiasi.

Novela Wesel Pos berhasil memberi gambaran tentang kerasnya kehidupan di Jakarta dan untuk dapat bertahan di ibu kota caranya hanya satu, seperti yang ada di awal tulisan ini.

Rie Kusuma