Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Sam Edy
Buku 'Senyum Karyamin' (Gramedia.com)

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik setelah kita membaca sebuah buku. Tentu saja buku yang dibaca adalah buku-buku yang bagus dan memuat hal-hal baru yang bisa dipetik dan renungi oleh para pembaca. Meski itu berupa buku genre fiksi seperti novel atau kumpulan cerpen

Salah satu buku kumpulan cerpen yang menurut saya sangat layak dibaca misalnya karya sastrawan senior, Ahmad Tohari, berjudul ‘Senyum Karyamin’ yang pernah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.

Buku tersebut memuat 13 cerpen Ahmad Tohari yang ditulis antara tahun 1976 dan 1986. Seperti dalam karya-karyanya terdahulu, dalam kumpulan cerpen ini beliau menyajikan kehidupan pedesaan dan kehidupan orang-orang kecil dan lugu dan sederhana.

‘Senyum Karyamin’ adalah salah satu judul cerpen sekaligus terpilih menjadi judul buku karya Ahmad Tohari yang menceritakan kehidupan rakyat miskin bernama Karyamin. Sebagai warga miskin yang kesehariannya menjadi pencari batu kali, dia tetap berusaha menjalani hari-harinya dengan senyuman. 

Meski batu-batu kali yang berhasil dikumpulkannya tak kunjung dibayar, sementara perutnya terasa lapar, dan utang-utangnya banyak, Karyamin berusaha melakoni hidupnya dengan ceria. 

Bahkan, Karyamin masih bisa tersenyum dan tertawa ketika Pak Pamong datang ke rumah untuk menagih uang dana Afrika (dana untuk menolong orang-orang yang kelaparan di sana). 

Sungguh sebuah ironi, warga sekitar masih ada yang kelaparan karena jerat kemiskinan, tapi petugas desa malah mencari dana untuk membantu orang-orang kelaparan di luar sana.

Kisah Karyamin yang hidup dalam garis kemiskinan mampu menyentak pikiran pembaca, bahwa di luar sana kiranya masih banyak orang-orang yang lebih nelangsa hidupnya. Bahkan untuk makan sehari-hari saja kesulitan, sementara sebagian dari kita malah hobi menghambur-hamburkan uang sesuka hati.

Cerpen menarik lainnya yang sarat dengan renungan dalam buku ini berjudul ‘Rumah yang Terang’. Berkisah tentang sebuah kampung yang tengah bergairah karena listrik telah masuk ke sana. Listrik telah mampu membuat warga kampung merasa senang karena mampu memanjakan kehidupan mereka. 

Namun, meski sudah empat tahun listrik masuk kampung tersebut, ada seorang warga bernama Haji Bakir yang tetap bersikukuh tidak mau memasang listrik. Berhubung rumahnya berada di dekat jalan raya, otomatis menjadi penghalang bagi rumah-rumah di belakangnya untuk memasang arus listrik. 

Hal inilah yang membuat tetangga di belakang rumah merasa jengkel terus-menerus. Hasrat mereka yang ingin menjadi pelanggan listrik tak bisa terlaksana sebelum ada dakstang di bubungan rumah Haji Bakir. Bahkan, anak lelakinya pun tak sanggup merayu ayahnya untuk merayu sang ayah agar memasang listrik di rumahnya.

Listrik baru benar-benar terpasang di rumah Haji Bakir dan tetangga di belakang rumahnya ketika Haji Bakir telah meninggal dunia. Warga pun akhirnya jadi tahu perihal alasan Haji Bakir enggan memasang arus listrik. Sang anak yang memberitahu warga tentang alasan ayahnya tak mau memasang listrik:

“Ayahku memang tidak suka listrik. Beliau punya keyakinan hidup dengan listrik akan mengundang keborosan cahaya. Apabila cahaya dihabiskan semasa hidup maka ayahku amat khawatir tidak ada lagi cahaya bagi beliau di alam kubur” (hlm. 46).  

Kisah-kisah yang dituturkan dalam buku kumpulan cerpen karya Ahmad Tohari semoga dapat menjadi bacaan yang menghibur sekaligus renungan berharga bagi para pembaca.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sam Edy