Bagaimana rasanya tinggal di kawasan kumuh kota Jakarta? Roanne van Voorst merupakan seorang antropolog asal Belanda yang menaruh perhatian terhadap kota Jakarta. Perhatiannya tertuju pada kawasan kumuh rawan banjir.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa Jakarta mempunyai warisan budaya "aneh", yaitu banjir turun temurun. Tempat hunian yang tidak tertata dan kerap mengalami penggusuran juga seakan lazim di Jakarta.
Roanne Van Voorst sendiri selain seorang antropolog juga penulis buku fiksi maupun non-fiksi. Ia meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dari Universitas Amsterdam pada tahun 2014.
Buku Tempat Terbaik di Dunia terdiri dari 7 bab. Salah satu bab yang menarik adalah bab ke-empat, yang diberi judul “Jangan Percaya Dokter”. Dalam membaca bab ini, rasa emosional dan haru yang dirasakan.
Masyarakat di bantaran kali tersebut menghadapi berbagai problem kesehatan. Tenaga kesehatan yang minim serta keterbatasan ekonomi masyarakat menjadikan akses kesehatan terasa sulit untuk dijangkau. Persis seperti sebuah kalimat: orang miskin dilarang sakit!
Penulis buku sungguh mengajak kita untuk menyelami ritme kehidupan di kawasan kumuh Jakarta. Budaya kemiskinan menciptakan pola hidup tersendiri. Bagaimana mereka berusaha bertahan dan beradaptasi dengan segala dinamika kehidupan.
Di kawasan bantaran kali, masyarakat disana menyadari betapa pentingnya hubungan antar individu untuk bertahan dari segala bentuk permasalahan. Hubungan harmonis inilah menginspirasi Roanne untuk menceritakan pengalaman hidup bersama mereka.
Dengan judul buku dan gambar sampul yang kontras, buku ini menarik untuk disimak. Buku ini bisa dijadikan referensi untuk mengenali penelitian antropologi, etnografi. Terlebih bagaimana menjalin hubungan dengan informan atau bagaimana melakukan wawancara sehari-hari untuk mengumpulkan data.
Bukan hanya bagi mahasiswa antropologi, peminat bidang antropologi, buku ini juga cocok dibaca orang-orang yang berkecimpung di bidang pembangunan dan kesejahteraan sosial, misalnya. Harapannya, mereka bisa merumuskan kebijakan berdasarkan penelitian dan pengamatan terlibat. Mereka mendengarkan secara langsung permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat.
Selain itu, keunggulan buku ini terletak pada bahasa yang cukup mudah dipahami, alur yang mengalir membuat kita seolah merasakan sebagaimana yang dirasakan peneliti atau si penulis. Ada juga hal-hal mengundang tawa, emosi hingga empati terhadap apa yang terjadi pada masyarakat di kawasan pemukiman kumuh.
Tag
Baca Juga
-
Surga Terakhir di Bumi yang Hilang: Ketika Raja Ampat Dikepung Tambang
-
Pengangguran Terdidik di Indonesia: Potret Buram Pendidikan dan Lapangan Kerja
-
Semangkuk Mie Instan di Kosan: Cerita Persaudaraan yang Tak Terlupakan
-
Program Pembinaan Siswa "Nakal" ala Dedi Mulyadi: Haruskah Cara Militer?
-
Warisan Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Hari Ini: Antara Cita-Cita dan Realita
Artikel Terkait
Ulasan
-
Ulasan 1 Kakak 7 Ponakan: Potret Generasi Sandwich yang Terjebak Jadi People Pleaser
-
Ulasan Novel The Last Bookshop: Kekuatan Buku yang Mengubah Hidup dan Takdir
-
Ulasan Novel People Like Us: Kehangatan Hubungan Antar Manusia
-
Serba-Serbi Kisah Cinta dan Nostalgia di Buku Kumpulan Cerpen Jeruk Kristal
-
Ngeri Parah! Review Film 'Drag Me to Hell': Kutukan dan Karma Mematikan
Terkini
-
Go! oleh Cortis: Raih Mimpi dengan Rasa Percaya Diri dan Energi yang Tinggi
-
Bertemu Kemenko Bapan, GEF SGP Indonesia Perkenalkan Pendekatan Inovatif untuk Ketahanan Pangan
-
Bukan Tentang Ayah, Ini Arti Lagu Usher "Daddy's Home" yang Viral di TikTok
-
Deretan Pemain Termahal Timnas Indonesia Usai Jay Idzes Gabung Sassuolo, Siapa Saja?
-
Gaya Hedonisme Generasi Z: Antara Santai dan Tantangan di Era Digital