Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | hanifati radhia
Ilustrasi Studi Antropologi (Pexels/Aditya Agarwal)

Pernah suatu kali saya membaca buku karya seorang profesor bidang antropologi, Amri Marzali. Ada sub judul buku menarik perhatian saya: "bisa jadi apa setelah lulus sarjana antropologi?". 

Singkatnya, dalam tulisan sub bab tersebut Prof. Amri ditanya oleh seorang dekan tentang tujuan belajar antropologi, lalu setelah lulus mau jadi apa. Ternyata jawabannya sama seperti saat kita ditanya oleh orang---di luar jurusan kita sampai hari ini. Menjawab dengan rasa pesimis. Berbeda dengan jawaban dekan Prof. Amri tersebut. Sang dekan berpesan: "kamu berkewajiban membawa bangsa primitif itu ke dunia kemajuan, karena mereka adalah juga bagian dari bangsa Indonesia".  

Dalam buku tersebut, Prof. Amri juga mengutarakan hal yang menyentuh: "tetapi ada sesuatu yang lain, yang bahkan mungkin paling penting dalam mendorong hasrat seseorang. Sesuatu itu adalah tentang hal yang dapat diberikan oleh disiplin ilmu tersebut untuk kehidupan pribadi seseorang setelah selesai kuliah". 

Kedua pernyataan tersebut sungguh mendalam dan mengesankan. Prof. Amri hendak menawarkan kepada generasi penerus---mahasiswa pembelajar antropologi untuk kembali memikirkan kegunaan ilmu kita untuk pembangunan bangsa yakni "antropologi terapan". 

Membaca tulisan Prof. Amri sekaligus membuat saya terkejut. Hal ini lantaran pertanyaan-kegalauan tentang antropologi dan masa depannya masih relevan hingga kini. Lulus jadi apa dan kerja di mana. Di mana lapangan pekerjaannya. Memang tidak menyeramkan seperti yang dibayangkan, hanya saja jurusan antropologi dianggap tidak begitu familiar. Apa benar demikian? 

Mari kita lihat contoh berikut. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif misalnya bekerjasama dengan jurusan antropologi UB untuk melakukan kajian peran cultural event (perayaan budaya) dalam mendukung pariwisata nasional dan ekonomi kreatif.

Tentu dalam kegiatan seperti ini turut melibatkan dosen, mahasiswa serta alumni. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) juga kerap melakukan rekrutmen peneliti lapangan salah satunya dari jurusan antropologi. 

Dalam tulisan ini saya justru mengajak rekan-rekan, adik- adik mahasiswa antropologi hingga calon mahasiswa untuk merenung kembali. Mungkin kita saat ini kita sedang berkuliah, diterima di jurusan antropologi karena pilihan kesekian atau karena salah pilih pada seleksi penerimaan perguruan tinggi.

Bahkan jika ada dari pembaca sekalian merupakan lulusan baru jurusan antropologi. Saya mengajak agar kita menyimak kembali tentang "eksistensi" kita di jurusan antropologi terhadap pembangunan Indonesia

Harapan Kepada Capres Cawapres Terpilih untuk Terobosan Kebudayaan

Hasil pemilihan umum telah ditetapkan. Tak lama lagi kita akan merengkuh kehidupan berbangsa bernegara bersama presiden dan wakil presiden baru. Ada kemajuan pada sesi debat capres terakhir pemilu 2024 lalu. Salah satu tema yang diangkat mengenai isu kebudayaan. Akan tetapi isu kebudayaan tersebut belum dibahas secara mendalam. Padahal kebudayaan adalah landasan dari pembangunan. 

Dalam kaitannya, saya berharap segala kebijakan dan pembangunan ke depan akan berlandaskan kebudayaan. Harapannya tahap pra program, pelaksanaan program hingga evaluasi melibatkan ahli-ahli bidang manusia dan kebudayaan dalam hal ini antropologi. 

Kegiatan penelitian atau tahapan kajian ilmiah menjadi salah satu dasar dalam pengambilan kebijakan. Misalnya mereka dapat terlibat dalam memberikan masukan, rekomendasi serta segenap pemikiran yang holistik dan mendalam.

Saya kira, ini bukan solusi awal atau solusi baru. Lantaran ahli antropologi saya yakin telah berkontribusi pula dalam kebudayaan di tingkat nasional atau pusat untuk saat ini. Akan tetapi perlunya mensosialisasikan bahwa generasi muda lulusan jurusan antropologi siap dan mampu untuk turut berkontribusi terhadap pembangunan bangsa. 

hanifati radhia