Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | .Totok Suryanto.
Ilustrasi sampul buku 'Psikologi Humanistik' (iPusnas)

Buku 'Psikologi Humanistik' tulisan Matt Jarvis berisi ulasan tentang salah satu aliran psikologi yang optimis memandang usaha manusia kreatif dalam mengejar terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri hasil pemikiran dua tokoh populernya yaitu Carl Rogers, dan Abraham Maslow.

Carl Rogers menyebut semangat individu tersebut dengan Human Beingness atau motif dasar manusia untuk mengaktualisasikan diri. Meskipun pada dasarnya manusia adalah insan yang baik jika memiliki konsep diri buruk dan tidak sanggup mengelola tekanan eksternal dalam lingkungan maka pengembangan potensi dirinya bisa menjadi terhambat.

Konsep diri ditentukan oleh harga diri atau seberapa kuat seseorang menyukai dan menghargai dirinya sendiri secara sehat dan obyektif dengan tetap mempertahankan keseimbangan antara citra diri masa kini dan citra diri ideal masa depan yang didukung oleh penghargaan positif tak bersyarat dari orang lain sejak masa kanak-kanak.

Abraham Maslow mengenalkan teori Needs Hierarchy untuk menjelaskan jenjang kebutuhan manusia berdasarkan prioritas pemenuhan yang dibedakan menjadi D-needs atau deficiency needs yang menjadi prioritas untuk segera dipenuhi dan B-needs atau being needs untuk mengembangkan potensi diri yang bisa dipenuhi selanjutnya.

Secara berurutan mencakup kebutuhan fisiologis atau physiological needs; kebutuhan akan rasa aman atau safety needs; kebutuhan akan pengakuan kelompok atau social needs; kebutuhan untuk dihargai atau esteem needs; kebutuhan untuk akses pengetahuan atau intellectual needs; kebutuhan atas seni dan keindahan atau aesthetic needs; hingga menemukan integritas pribadi yang disebutnya sebagai self actualization. 

Self actualization berkaitan dengan pengalaman puncak ketika seseorang merasa bahwa dirinya telah selaras dan bisa melihat dunia secara utuh. Abraham Maslow tidak menyamakan aktualisasi diri dengan kesempurnaan melainkan bukti bahwa individu telah berhasil mengembangkan potensi dirinya secara optimal dengan tetap menampilkan sifat-sifat manusiawi.

Menerapkan model non direktif, Carl Rogers dan Abraham Maslow mengembangkan terapi humanistik yang berpusat pada individu dengan menciptakan hubungan terapeutik yang sehat, profesional, dan harmonis antara konselor dan klien.

Selama terapi berlangsung konselor memberikan keleluasaan kepada klien untuk mengutarakan isi perasaan dan masalahnya. Support konselor menuntun klien hingga sesi terakhir dalam konseling ketika mereka berdua menemukan jawaban atas masalah yang sedang dihadapinya.

Buku yang diterbitkan oleh NUSAMEDIA, 2021 ini juga dilengkapi dengan kritik terhadap pandangan dan model konseling humanistik Carl Rogers dan Abraham Maslow  yang dianggap terikat oleh budaya individualistik sehingga kurang fleksibel jika diterapkan di luar lingkup budaya mereka berdua.

Carl Rogers dianggap terlalu naif menilai manusia sebagai orang baik, kurang obyektif, dan mengandalkan reliabilitas narasi klien dalam menetapkan konklusi. Abraham Maslow dianggap terlalu optimis karena mengabaikan sisi-sisi negatif pengalaman manusia, tidak ilmiah, dan mengandalkan opini klien dalam interpretasi.

Namun demikian pemikiran Carl Rogers dan Abraham Maslow  tetap diperhitungkan dalam dunia konseling dan psikoterapi hingga sekarang. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

BACA BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

.Totok Suryanto.