“Semua yang datang pasti akan pergi, siap tidak siap kita pasti sendiri.” Kalimat ini menjadi dasar filosofi buku Kita Pasti Sendiri karya Helobagas.
Melalui buku ini, Helobagas mengajak pembaca untuk menerima realitas kesepian sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak terelakkan. Dengan gaya bahasa yang tulus, buku ini berhasil menjadi teman bagi mereka yang tengah menghadapi fase sepi dalam hidup.
Kesepian sering kali dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan harus dihindari. Namun, melalui Kita Pasti Sendiri, Helobagas menawarkan sudut pandang berbeda.
Kesepian tidak hanya dipandang sebagai kondisi negatif, tetapi juga sebagai momen refleksi dan kesempatan untuk lebih mengenal diri sendiri.
Salah satu kekuatan buku ini terletak pada pesannya yang konsisten tentang pentingnya mencintai dan menerima diri sendiri.
Helobagas menulis dengan kepekaan emosional yang tinggi, membimbing pembaca untuk memahami bahwa tidak ada yang lebih penting daripada merawat diri sendiri, baik secara fisik maupun mental.
Buku 'Kita Pasti Sendiri' mengingatkan bahwa meskipun kita dikelilingi oleh orang lain, ada saat-saat kita akan menghadapi kesendirian.
Helobagas tidak hanya menggambarkan kesepian sebagai sesuatu yang harus dihindari, tetapi juga sebagai bagian alami dari kehidupan yang perlu diterima dan dipahami.
Di tengah perjalanan hidup, setiap orang akan melalui fase kesendirian yang membawa pelajaran dan pemahaman lebih dalam tentang diri sendiri dan hubungan dengan orang lain.
Buku ini juga menyinggung hubungan antarmanusia yang sering kali dangkal atau terputus oleh kesibukan dan ekspektasi sosial.
Helobagas mengajak pembaca untuk lebih menghargai kehadiran orang lain, tetapi juga untuk memahami bahwa pada akhirnya, kita harus berdamai dengan diri kita sendiri.
Bagi siapa pun yang tengah berada di fase sepi, kehilangan, atau perenungan, Kita Pasti Sendiri adalah teman yang akan menemani dengan tulus dan memberikan pandangan baru tentang kesendirian.
Helobagas dengan cerdas menggambarkan bahwa kesepian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan suatu fase penting dalam perjalanan hidup yang membantu kita tumbuh dan lebih memahami diri kita sendiri.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
"Bakat Menggonggong", Eksperimen Narasi yang Cerdas dan Penuh Nyinyiran
-
Novel Ada Zombie di Sekolah: Ketika Pesta Olahraga Berubah Jadi Mimpi Buruk
-
Serunai Maut II, Perang Terakhir di Pulau Jengka dan Simbol Kejahatan
-
Serunai Maut: Ketika Mitos, Iman, dan Logika Bertarung di Pulau Jengka
-
Refleksi Diri lewat Berpayung Tuhan, Saat Kematian Mengajarkan Arti Hidup
Artikel Terkait
-
Awas Bikin Bucin! Ulasan Buku Puisi Kuajak Kau ke Hutan dan Tersesat Berdua
-
Ulasan Buku 'Nanti Juga Sembuh Sendiri', Merangkul Luka untuk Menyembuhkan
-
Tangkas Jaga Kebersihan Lingkungan dalam Buku 'Ke Mana Balon Itu Pergi'
-
Ulasan Buku Dikatakan atau Tidak Dikatakan Itu Tetap Cinta Karya Tere Liye
-
Ulasan Buku 'Melelahkan Tapi Harus Diperjuangkan', Ketika Perjuangan Terasa Berat
Ulasan
-
Relate Banget! Novel Berpayung Tuhan tentang Luka, Hidup, dan Penyesalan
-
4 Kegiatan Seru yang Bisa Kamu Lakukan di Jabal Magnet!
-
Novel Ice Flower: Belajar Hangat dari Dunia yang Dingin
-
Novel Dia yang Lebih Pantas Menjagamu: Belajar Menjaga Hati dan Batasan
-
Review Series House of Guinness: Skandal dan Sejarah yang Sayang Dilewatkan
Terkini
-
Sea Games 2025: Menanti Kembali Tuah Indra Sjafri di Kompetisi Level ASEAN
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Effortlessly Feminine! 4 Padu Padan OOTD ala Mina TWICE yang Bisa Kamu Tiru
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
-
Tutup Pintu untuk Shin Tae-yong, PSSI Justru Perburuk Citra Sendiri!