Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | al mahfud
Kitab Anti Bodoh (Bo Bennett, Ph.D (DocPribadi/Imahfud)

Kita berada di masa kampanye Pilkada 2024. Debat Calon Gubernur maupun Calon Bupati digelar di mana-mana. Para calon merayu masyarakat dengan berbagai janji dan pernyataan. Di sinilah, dibutuhkan kemampuan menilai setiap program maupun pernyataan calon dengan kritis agar bisa menentukan pilihan dengan bijak.

Penilaian yang objektif terhadap setiap argumentasi calon kepala daerah adalah kunci utama untuk menghasilkan pemimpin berkualitas. Oleh karena itu, penting bagi kita memiliki kemampuan berfikir dengan logis dan bebas dari segala bentuk cacat logika yang mendasar. Dalam konteks inilah, buku berjudul Kitab Anti Bodoh karya Bo Bennett ini sangat relevan untuk disimak.

Buku ini mendedahkan berbagai bentuk cacat logika yang terkadang ada di pikiran banyak orang. Setiap bentuk cacat logika diuraikan secara runtut: kita diberi gambaran umum, bentuk logika, sampai contoh dan bagaimana refleksi untuk menghindarinya. Harapannya, pembaca bisa belajar berfikir dengan benar dan mampu menilai sesuatu secara objektif dan logis.

Salah satu contoh bentuk cacat logika adalah tidak objektif memandang suatu pendapat hanya karena pendapat itu diungkapkan orang yang tidak disukai. Hal ini termasuk “Cacat Logika Karena Menistakan”. Yakni, menghina orang atau menghujat narasumber yang melontarkan argumen dengan menyerang pribadinya, bukan argumannya.

Misalnya, si X berkata, “Lawan saya berpendapat, menurunkan pajak merupakan kebijakan tepat. Namun pendapat ini dikemukakan seorang perempuan yang menghabiskan satu liter es krim mahal setiap malam”. Kenyataan bahwa perempuan tersebut suka es krim, sama sekali tidak ada hubungannya dengan penurunan pajak, sehingga tak bisa dijadikan argumen melawan. Dalam hal ini, si X telah putus asa dalam melawan pendapat perempuan tersebut sehingga hanya bisa menyerang pribadi lawannya (hlm 36).

Bentuk cacat logika lain yang sering terjadi adalah menarik kesimpulan berdasarkan sejumlah kecil sampel. Contohnya, ungkapan, “Bapak saya menghisap rokok sebanyak empat bungkus sehari sejak umur 14 tahun dan hidup sampai umur 69 tahun. Oleh karena itu, merokok tidak terlalu buruk bagi Anda”. Ditegaskan di buku ini, hal ini benar-benar tak masuk akal dan berbahaya untuk menarik kesimpulan umum tentang dampak merokok bagi kesehatan dengan studi kasus satu orang (hlm 208).

Dalam konteks kontestasi politik di masa kampanye Pilkada 2024, hal tersebut sangat penting disadari agar kita tak mudah menilai karakteristik orang secara umum hanya karena satu kejadian, terutama menyangkut soal calon pemimpin. Misalnya, hanya karena pernah melihat calon X berlaku ramah terhadap seorang buruh di pinggir jalan, bukan berarti kita bisa berkesimpulan bahwa jika si X menjadi pemimpin akan memberi perhatian lebih terhadap buruh. Satu kejadian yang kita lihat tak bisa kemudian dijadikan patokan untuk menilai kualitas secara keseluruhan.

Masih berkaitan dengan hal tersebut, disebutkan juga tentang cacat logika “kejelasan yang menyesatkan”. Bentuk cacat logika ini adalah: peristiwa X yang dramatis atau jelas terjadi (tidak sesuai dengan sebagian besar bukti statistik), maka kejadian serupa X mungkin akan terjadi. Contohnya: Cuaca hari ini sangat dingin sampai tanamanku mati, kolamku membeku dan ini baru Oktober! Pemanasan global hanya omong kosong!. Menarik kesimpulan “pemanasan global hanya omong kosong” hanya berdasarkan kejadian dua hari dingin yang tidak biasa, merupakan bentuk cacat logika yang parah (hlm 257).

Buku ini akan menyadarkan pembaca mengenai adanya beragam bentuk kekeliruan cara berfikir yang mungkin selama ini dianggap hal biasa. Harapannya, kita bisa menghindari beragam bentuk kekeliruan bernalar sehingga menjadi seseorang yang mampu berfikir logis. Dari sana, kita akan mampu memandang segala sesuatu dengan objektif sesuai keadaan sebenarnya dan bisa mengambil kesimpulan, sikap, atau tindakan dengan landasan yang bijak.

al mahfud