Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Sabit Dyuta
Novel Amba (Goodreads)

Sejarah sering kali meninggalkan luka yang sulit dilupakan. Bagi mereka yang kehilangan orang terkasih akibat kekacauan politik, masa lalu bukan sekadar kenangan, tetapi juga beban yang terus menghantui. 

"Amba", novel karya Laksmi Pamuntjak, mengisahkan tentang cinta, kehilangan, dan pencarian diri di tengah tragedi besar tahun 1965. Kisah ini menghadirkan sisi manusiawi dari orang-orang yang terperangkap dalam pusaran sejarah, kehilangan segalanya, dan berusaha mencari kepastian dalam hidup yang tak memberi banyak pilihan.

Amba Kinanthi, tokoh utama dalam cerita ini, tumbuh di lingkungan konservatif, tetapi memiliki pemikiran yang lebih bebas dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Ia memilih jalannya sendiri, meninggalkan rumah demi pendidikan di Yogyakarta.

Di sana, pertemuan dengan Bhisma, seorang dokter yang cerdas dan idealis, membawa Amba pada kisah cinta yang begitu dalam. Namun, situasi politik yang memanas merenggut segalanya.

Bhisma ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik, tanpa kepastian apakah ia masih hidup atau tidak. Sementara itu, Amba, yang tengah mengandung anak Bhisma, harus menata ulang hidupnya dengan membawa luka yang tak mudah disembuhkan.

Bukan hanya sekadar kisah cinta yang berakhir tragis, Amba menghadirkan potret tentang bagaimana sejarah bisa mengubah kehidupan seseorang dalam sekejap. 

Pulau Buru, yang menjadi tempat pembuangan tahanan politik, digambarkan dengan begitu nyata sebagai simbol keterasingan, penderitaan, dan ketidakadilan. Kehidupan di sana dipenuhi rasa putus asa, ketakutan, dan harapan yang perlahan memudar.

Orang-orang yang dituduh tanpa bukti, yang dicap sebagai musuh negara, harus bertahan di tempat yang tak pernah mereka pilih.

Di sisi lain, kisah ini juga menyentuh perjuangan seorang perempuan dalam mencari tempatnya di dunia. Amba bukan sosok yang mudah menyerah pada keadaan. Meski dikhianati oleh takdir, ia tetap berusaha menemukan jawaban atas masa lalunya.

Sikapnya mencerminkan pergulatan banyak perempuan yang sering kali dipaksa mengikuti aturan yang tidak mereka pilih, tetapi tetap berusaha bertahan dan menentukan nasib sendiri.

Hingga hari ini, kisah dalam "Amba" masih relevan. Tragedi 1965 bukan sekadar catatan sejarah, tetapi bagian dari luka yang masih membekas dalam kehidupan banyak orang.

Banyak yang kehilangan orang-orang tercinta, banyak yang harus menjalani hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang tak kunjung usai.

Sebagai sebuah novel, "Amba" lebih dari sekadar cerita fiksi. Laksmi Pamuntjak menulis dengan begitu puitis dan emosional, seolah membangkitkan kembali suara-suara yang telah lama dibungkam.

Kisah ini seolah menuntun para pembacanya untuk melihat sejarah, bukan sebagai sesuatu yang jauh di masa lalu, tapi sebagai bagian dari kehidupan yang masih berdenyut hingga hari ini.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta