Setiap kali Disney mengumumkan live-action remake dari film animasi klasiknya, selalu saja dua perasaan yang bertolak belakang: antusias dan khawatir. Antusias karena ada peluang untuk melihat kisah masa kecil dibawa ke level yang lebih megah, tapi khawatir karena Disney sering bermain aman, atau bahkan coba-coba merombak materi aslinya.
Film Snow White yang tayang di bioskop pada 19 Maret 2025 digarap Marc Webb dan dibintangi Rachel Zegler sebagai Snow White serta Gal Gadot sebagai Evil Queen. Dengan produksi sebesar ini dan jajaran pemain ternama, seharusnya ini bisa jadi sebuah kisah dongeng yang epik. Namun, kenyataannya? Aku nonton dengan rasa campur aduk!
Dari Dongeng Klasik ke Live-Action yang Begitu Buruk
Sebagai orang yang pernah nonton Film Snow White and the Seven Dwarfs (1937), aku selalu menganggap film animasi itu sebagai salah satu karya terbaik Disney. Itu adalah film yang sederhana, tapi punya kehangatan, pesona, dan keajaiban yang nggak tergantikan.
Lalu datanglah versi live-action ini. Aku harus mengakui bahwa di atas kertas, ada niat baik untuk membuat kisahnya lebih relevan dengan audiens masa kini. Marc Webb mengikuti pendekatan yang mirip dengan Cinderella (2015), yang ngasih karakter utama lebih banyak pendalaman cerita lebih kompleks dengan segala perubahannya di sana-sini.
Snow White yang sekarang nggak sekadar nunggu pangeran datang menyelamatkannya, tapi kini punya ambisi besar untuk membangun kembali kerajaannya. Dia ingin jadi pemimpin yang membawa perubahan bagi rakyatnya. Ini adalah langkah yang lebih progresif dibandingkan Snow White versi animasi, yang lebih pasif dan hanya fokus pada menemukan kebahagiaan dalam cinta.
Aku nggak masalah dengan konsepnya. Namun, masalahnya, film ini terlalu sering menyampaikan pesan “girl power” secara eksplisit hingga terasa didiktekan kepada penonton. Seolah-olah setiap adegan harus ada dialog yang mengingatkan kita kalau Snow White adalah perempuan kuat. Bukan berarti pesan ini nggak penting, tapi ketika terus-menerus ditekan tanpa subtilitas, rasanya malah kurang natural.
Di sisi lain, Gal Gadot sebagai Evil Queen jadi paling lemah di sini. Ya ampun aktingnya B doang. Dia tampil sebagai ratu yang licik, glamor, dan nggak kenal ampun, tapi aura yang dipancarkan cenderung monoton!
Ditambah dengan penundaan rilis selama setahun, dan jika kamu jeli, kamu akan melihat perubahan rambutnya Snow White di scene yang masih sama, yang tiba-tiba kelihatan berantakan, lalu rapi lagi, lalu jadi kayak lepek, asli itu kelihatan banget rekam ulangnya untuk scene yang sama.
Dan bagian yang paling kontroversialnya yakni: Sejak awal, keputusan Disney untuk nggak menggunakan aktor dengan dwarfisme dalam peran tujuh kurcaci sudah menuai kritik. Banyak yang merasa ini adalah langkah mundur dalam representasi.
Sebagai gantinya, Disney mencoba menggunakan teknologi CGI untuk menciptakan kurcaci versi digital. Dan jujur saja, ini adalah salah satu aspek terburuk dari film ini.
Saat pertama kali para kurcaci muncul di layar, aku langsung merasa ada yang aneh. Mereka terlihat seperti makhluk yang nggak benar-benar menyatu dengan dunia filmnya. Gerakan mereka terasa kaku, ekspresi wajahnya kurang emosional, dan yang paling parah, mereka malah mengurangi rasa magis dari cerita ini.
Padahal, dalam versi animasi, tujuh kurcaci adalah karakter yang penuh kehidupan. Mereka punya kepribadian yang kuat dan interaksi yang menyenangkan dengan Snow White. Di sini? Mereka hanya terasa seperti tempelan yang nggak ada chemistry dengan karakter utama.
Beberapa adegan memang terlihat indah, terutama yang mengambil lokasi di hutan. Sayangnya, visual indah itu nggak guna. Kendatipun penyesalanku nonton sudah selevel tingginya Monas, tapi nggak bisa dipungkiri, lagu-lagu yang mengiringi sepanjang film lumayan enjoy didengar.
Hasil akhirnya, live-action Snow White jadi titik terlemah dan terburuk buatan Disney.
Skor: 2,5
Baca Juga
-
Review Film A Nice Indian Boy: Romantis, Realistis, dan Rekatable
-
Review Film Tabayyun: Menggali Luka, Mencari Cinta, dan Menerima Takdir
-
Review Film Pembantaian Dukun Santet: Teror dengan Cerita yang Tergesa-gesa
-
Review Film The Surfer: Semacam Studi Karakter yang Suram
-
Review Film Bonjour Tristesse: Adaptasi yang Lebih Kalem dan Nyeni
Artikel Terkait
-
Review Film Il Mare, Kisah Romansa Lintas Waktu yang Bikin Baper
-
Review Film A Nice Indian Boy: Romantis, Realistis, dan Rekatable
-
Rose BLACKPINK Angkat Tema Cinta Berlebihan dalam Lagu Messy, OST Film F1
-
Review Film Tabayyun: Menggali Luka, Mencari Cinta, dan Menerima Takdir
-
3 Film Final Destination Wajib Ditonton Sebelum Bloodlines, Tayang 14 Mei!
Ulasan
-
Review Film Il Mare, Kisah Romansa Lintas Waktu yang Bikin Baper
-
Review Film A Nice Indian Boy: Romantis, Realistis, dan Rekatable
-
Cinta yang Tak Direncanakan: Pelajaran dari Cahaya Bintang Tareem
-
Menghadapi Jungkir Balik Kehidupan dalam Buku Kakakku, Bongsoon
-
NCT DREAM Ceritakan Cinta Monyet yang Polos dan Menggebu di Lagu My First and Last
Terkini
-
Berantas Mafia Sepak Bola dan Pengaturan Skor, PSSI Harusnya Tiru Langkah Sadis Vietnam!
-
RIIZE Ungkap Harapan Masa Depan di Lagu Terbaru Bertajuk 'Another Life'
-
The First Night With The Duke Rilis Poster Perdana, Siap Bikin Baper?
-
Shayne Pattynama: Pasang-surut Kariernya di Klub dan di Timnas Indonesia
-
Menggempur Prokrastinasi: Strategi Mahasiswa Menaklukkan Si Penunda Tugas