Ketika pertama kali mendengar ‘The Leopard’ akan diadaptasi jadi mini series Netflix, tentunya kamu (yang pernah nonton versi filmnya) langsung dibuat penasaran, kan?
Nah, betul banget. ‘The Leopard’ berdasarkan novel klasik karya Giuseppe Tomasi di Lampedusa, yang dulu pernah diangkat ke layar lebar sama Luchino Visconti pada tahun 1963, dengan pendekatan yang artistik dan atmosferik. Dan sebagai penonton yang pernah nonton tuh film klasiknya, jelas dibuat penasaran bakal seperti apa jadinya kalau film yang berdurasi seadanya dikembangkan dalam bentuk mini series alias series dengan jumlah episode terbatas.
Ya, kamu boleh berharap besar pada Sutradara Tom Shankland bersama penulis Benji Walters dan Richard Warlow yang mencoba menghadirkan kembali dalam versi yang lebih segar dan modern.
Dibintangi Kim Rossi Stuart sebagai Don Fabrizio sang Pangeran Salina, serta Deva Cassel dan Saul Nanni sebagai tokoh-tokoh kunci dalam konflik keluarga bangsawan ini, yang tentunya masih banyak bintang pendukung lainnya.
Mini series ini berusaha menangkap esensi perubahan sosial yang terjadi di Italia abad ke-19. Namun, yang membuatku tertarik bukan hanya unsur sejarahnya, melainkan bagaimana Netflix menyuntikkan sensualitas dan drama yang lebih intens ke dalamnya.
Ups, kalau kamu penasaran dengan sensualitasnya, ini tempat yang tepat buat kamu tahu lebih banyak lagi. Yuk, kepoin dan pantengin pembahasannya!
Ketika Sejarah jadi Lebih Panas
Aku sadar, tren drama sejarah saat ini cenderung lebih eksploratif dalam hal sensualitas, terutama setelah kesuksesan Bridgerton. Jadi, nggak heran jika ‘The Leopard’ versi 2025 terasa lebih berani dalam menampilkan keerotisan.
Dibandingkan dengan film klasiknya, mini series ini tampaknya lebih menyoroti romansa segitiga antara Tancredi, Concetta, dan Angelica. Aku bisa melihat bagaimana Angelica (diperankan Deva Cassel, yang merupakan putri dari Monica Bellucci dan Vincent Cassel) jadi karakter yang jauh lebih aktif dan menggoda. Dia tuh nggak cuma gadis cantik dari keluarga baru kaya, tapi juga sosok yang cerdas dan tahu cara memainkan pesonanya untuk masuk ke elit sosial.
Aku sempat berpikir, apakah pendekatan ini benar-benar memperkaya cerita, atau justru membuatnya terasa seperti drama period-piece yang hanya mengandalkan ketertarikan fisik? Namun, kalau dipikir-pikir, sejarah selalu punya sisi gelapnya sendiri, termasuk bagaimana hubungan sosial dan kekuasaan seringnya ditentukan sama daya tarik dan intrik pribadi.
Di balik tampilan visual yang indah dan romansa yang mendebarkan, mini series ini tetap mempertahankan elemen paling kuat dari novelnya, yaitu pertarungan antara aristokrasi yang mulai memudar dan kelas baru yang mulai naik.
Don Fabrizio, sang Pangeran Salina tuh, sosok bangsawan yang melihat perubahan dengan rasa enggan. Aku bisa merasakan beban psikologisnya—di satu sisi, dia ingin mempertahankan tradisi, tapi di sisi lain, dia tahu perubahan adalah sesuatu yang nggak terhindarkan.
Salah satu momen yang paling menarik bagiku adalah ketika Tancredi berkata, "Jika kita ingin segalanya tetap sama, maka segalanya harus berubah." Ini adalah kutipan yang sangat kuat dan masih relevan hingga sekarang. Kita bisa melihat bagaimana kelas penguasa di berbagai belahan dunia selalu menemukan cara untuk tetap bertahan, entah melalui politik, bisnis, atau cara lainnya.
Pada akhirnya, ini sampai pada ujung penilaian. Aku masih sedikit ragu apakah mini series ini bisa menandingi versi filmnya yang legendaris. Film Visconti punya nuansa gothic dan simbolisme yang begitu kuat, sementara versi Netflix ini lebih terasa seperti drama sejarah yang dikemas ulang agar lebih sesuai dengan selera penonton masa kini.
Namun, apakah itu buruk? Nggak juga. Aku justru melihat ini sebagai cara untuk memperkenalkan kisah ‘The Leopard’ ke generasi baru. Dengan visual yang memukau, akting yang cakep, dan tajuk utama yang tetap relevan, mini series ini bisa jadi jembatan buat penonton yang belum pernah membaca novelnya atau menonton film klasiknya.
Jadi, apakah aku akan merekomendasikannya? Jelas. Jika kamu suka drama sejarah yang kaya dengan konflik sosial dan politik, ‘The Leopard” jelas tontonan yang wajib masuk daftar. Namun, jika kamu mencari sesuatu yang lebih artistik dan subtil seperti versi Visconti, mungkin mini series ini akan terasa sedikit kurang dari ekspektasimu.
Bagaimanapun juga, satu hal yang pasti, revolusi mungkin bisa mengubah segalanya, tapi kisah tentang cinta, kekuasaan, dan adaptasi akan selalu relevan. Selamat nonton ya, Sobat Yoursay.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Film Elio: Pixar Kembali Menjelajah Luar Angkasa, Sini Kepoin!
-
Review The Artists: Bukti Nyata Sinema Nggak Butuh Dialog Untuk Dicintai
-
Film Mungkin Kita Perlu Waktu: Kisah tentang Kehilangan dan Trauma Mendalam
-
Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Film Keluarga yang Bikin Penasaran
-
Green Book: Film Ini Mengubah Cara Pandang Kita tentang Ras dan Persahabatan
Artikel Terkait
-
Download Film Saat Mudik? Ini Cara Unduh di Netflix, Disney+, HBO Max, dan Lainnya
-
Dibanding Season 1, Squid Game 2 Lebih Sadis atau Lebih Emosional?
-
Ulasan Film 'Setetes Embun Cinta Niyala', Dilema Cinta dan Perjodohan
-
8 Rekomendasi Film Terbaru di Netflix untuk Temani Libur Lebaran
-
Review The Residence: Serial Whodunit Seru dengan Sentuhan Komedi
Ulasan
-
Review Film 'Pabrik Gula': Teror Mistis di Balik Industri Gula Kolonial
-
Ulasan Film Split: Memahami Gangguan Kepribadian Ganda (DID)
-
Review Film High Rollers: Antara Cinta dan Misi Mustahil di Meja Perjudian
-
Ulasan Novel Drupadi: Rekonstruksi Mahabharata dan Citra Istri Lima Pandawa
-
Dibanding Season 1, Squid Game 2 Lebih Sadis atau Lebih Emosional?
Terkini
-
AI Mengguncang Dunia Seni: Kreator Sejati atau Ilusi Kecerdasan?
-
Mathew Baker Nyaman di Tim, Kode Timnas Indonesia Berprestasi di Piala Asia U-17?
-
Catat Tanggalnya! Kai EXO Bagikan Jadwal Teaser Comeback Album 'Wait On Me'
-
Kim Soo-hyun Gugat Ganti Rugi Rp135 Miliar kepada Keluarga Kim Sae-ron
-
Jamu CAHN FC, PSM Makassar Optimis Mampu Tembus Babak Final ACC 2025